Seperti penanaman coral, bersih-bersih pantai,divingdansnorkelingserta yang lainnya. "Kegiatan kami adadivingsambil bersih-bersih coral di dalam laut," ujar Gede Yudarta, dari Sea Communities.
Hal ini dilakukan guna melestarikan kembali terumbu-terumbu karang di sini yang sempat rusak karena sistem penangkapan ikan yang salah. Awalnya, cara tangkap yang dilakukan adalah dengan menggunakan jaring tradisional.
Namun kemudian berkembang menggunakan sianida. Hal ini dikarenakan meningkatnya permintaan pasar serta merasa termudahkan dengan penggunaannya. Akibatnya memang tidak langsung terlihat saat itu.
Pemakaian sianida dalam jangka waktu yang lama, akan mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang. Dari sanalah, semenjak tahun 2002-an, menurut Gede, sianida pun mulai ditinggalkan dan para nelayan di desa ini kembali pada pada penggunaan jaring tradisional.
Bahkan jaring yang digunakan pun dipilih yang lembut, agar tidak merusak coral. Rehabilitasi terhadap terumbu karang pun dilakukan. Dan, organisasi yang telah 3 tahun aktif ini cukup gencar menggalakkan kegiatan ini bersama para relawan dan juga nelayan serta penduduk lokal Desa Les.
Tak heran, desa ini juga cukup dikenal dengan kearifan lokalnya. Penduduk lokalnya sendiri bahu-membahu dalam menjaga kelestarian alam lingkungan tempat tinggalnya.
Jarak yang ditempuh untuk mencapai lokasi Desa Les memang cukup memakan waktu. Kurang lebih 3 jam perjalanan jika dicapai dari pusat Kota Denpasar, atau kurang lebih 124 km. Sementara dari jika datang dari ibu kota Kabupaten Buleleng, yakni Singaraja, Desa Les ini berjarak 35 km.
Panen garam tiap 3 hari
Selain menjadi nelayan dan petani kebun, untuk mata pencaharian utama masyarakat Desa yang sebelah selatannya berbatasan langsung dengan Kintamani, Kabupaten Bangli ini, sebagian besar adalah petani garam. Di tepian pantai akan tampak peralatan tradisional mereka untuk membuat garam tersebut.
Lahan dan peralatan dari bantuan pemerintah daerah setempat ini dimanfaatkan oleh Ketut Windra dan petani garam lainnya untuk mengolah air laut menjadi produk garam yang kemudian mereka pasarkan.
Setiap 3-5 hari mereka dapat memanen garam tersebut. Namun hal tersebut tidak menentukan berhasil tidaknya pengolahan garam. Tergantung kondisi cuaca, yang mana menentukan berhasil atau tidaknya panen garam tersebut.
Umumnya, di masa musim panaslah waktu yang baik bagi mereka untuk membuat garam. "Tergantung cuaca, kalau mendung susah. Biasanya malah suka gagal," tambah pria yang memiliki 4 orang anak ini.
Awalnya air laut dituang dalam sebuah wadah yang disebut tinjung yang juga sudah diisi oleh pasir terlebih dahulu. Dari sana kemudian ditunggu sampai air meresap ke dalam pasir, dan mengalir ke dalam bak yang telah disediakan di bawahnya.
Baru setelah dari bak tersebut, kemudian tahap pengolahannnya berikutnya dibawa ke penjemuran. Ditunggu hingga sekitar 3 harian, kemudian sudah berbentuk garam dan bisa dipanen.
"Garamnya ini enak, beda rasanya dari garam yang lain. Silakan dicoba," ujar seorang petani garam winata lainnya sambil menunjukkan garam hasil panenannya kepadaTribun Bali.(Tribun Bali/Cisilia Agustina Siahaan)