(0362)21342
disparbuleleng@yahoo.com
Dinas Pariwisata

Seni Ukir Gaya Buleleng Sebagai Modal Budaya Dalam Menjawab Tantangan Pada Era Globalisasi

Admin dispar | 20 November 2015 | 3275 kali

 
Oleh: I Ketut Supir 
Staf Pengajar Jurusan Desain Komunikasi Visual Undiksha
 
 
Bali dilihat dari geografis dibelah menjadu dua oleh gugusan gunung yang membentang dari Timur ke Barat. Dua daerah itu yakni Bali Utara dan Bali Selatan. Bali Utara secara sosiobudaya memiliki karakteristik budaya, khususnya seni ukir yang berbeda dengan Bali Selatan.  Perbedaan itu tampak pada bentuk-bentuk stilisasi motif hias yang diterapkan pada pura dan bangunan lainnya. Motif hias Bali Utara secara umum tampilannya lebih dinamis dan cenderung bergaya Barok (Covarrubias, 2012: 120). Motif hias, terutama motif daun  dibuat lebih besar menjukur ke mana-mana. Motif kekarangan di tampilkan dinamis dengan posisi wajah yang cenderung miring.
Berbeda dengan motif hias di Bali Selatan yang serba tertib dan cenderung statis. Penerapan motif hias dalam bentuk ukiran mengacu pada pakem yang pasti, sehingga penempatannya sangat terkontrol. Perupa harus menghormati pakem tersebut dan tidak akan melanggarnya. Pelipit, misalnya merupakan tempat motif hias geometris, akan diisi dengan kelompok motif hias geometris, seperti mas-masan, taluh kakul, ganggong, batu-batuan, dan lainnya. Pada sudut bawah bangunan akan ditempatkan karang gajah, sedangkan pada sudut atas ditempatkan karang guak. Pendek kata, semua motif hias, terutama yang mengandung simbolis, penempatannya mengikuti pakem secara ketat.
 
Kedua gaya seni ukir memiliki bentuk visual yang berbeda, namun tetap dalam payung nilai-nilai agama Hindu. Seni ukir Bali Utara memiliki visualisasi lebih dinamis dan kadang kurang memperhatikan simetrisitas. Hal ini menarik dikaji lebih lanjut, mengapa perupa Bali Utara kurang patuh terhadap hukum simetris. Yang pasti dua gaya seni ukir itu merupakan modal budaya bagi Bali. 
Dalam perjalanan waktu, tampaknya seni ukir gaya Bali selatan lebih mendomoinasi tidak hanya di wilayah Bali selatan, tetapi merambah pula ke wilayah Bali Utara. Hal ini tidak lepas dari pengaruh ekonomi dan politik. Sejak pusat pemerintahan Bali dipindah ke Denpasar, semua fasilitas pemerintahan diboyong ke Denpasar. Singaraja berubah menjadi kota kabupaten yang seolah-olah terasing dari wilayah lainnya, selain karena posisi geografisnya yang sulit dijangkau juga karena budayanya yang agak berbeda dengan wilayah lainnya. 
 
Ketika proyek pariwisata lebih banyak dikembangkan di Bali selatan menimbulkan dampak terhadap seni ukir gaya Bali Selatan. Sarana pariwisata, termasuk  hotel-hotel dibangun dan pemerintah menrapkan aturan yang yang mengharuskan hotel-hotel dan destnasi pariwisata menampilkan arsitektur dan ukiran khas Bali. Hal ini yang menyebabkan seni ukir Bali selatan banyak diterapkan. Selain itu souvenir yang menmapilkan ukiran Bali selatan juga banyak diproduksi dan dimanti oleh wisatawan. Bengkel-bengkel pemroduksi ukiran di Gianyar kewalahan menerima pesanan, maka banyak yang mencari tenaga pengukir. Tukang ukir dari Bali utara berbondong-bondong ke Gianyar untuk belajar dan mencari nafkah dari keahliannya mengukir. Mereka mendalami seni ukir gaya Bali selatan untuk dijual kepada pelangagannya. 
 
Mereka mengganggap seni ukir Bali selatan lebih unggul dan maju, baik dari sisi kerumitannya (dalam seni ukir, tampilan yang rumit menandakan kemajuan dan keunggulan) dan dari sisi memberikan jaminan untuk hidup mereka. Mereka melupakan seni ukir Bali Utara yang hanya dijumpai di Pura-pura, karena generasi pengukir gaya Bali Utara terputus seiring dengan berpindahnya pusat ibukota propinsi Bali ke Denpasar. Selain itu, Buleleng pada waktu itu cenderung mengandalkan sektor pertanian sebagai unggulannya dan budaya nampaknya kurang mendapat perhatian. Hal inilah yang menyebabkab seni ukir gaya bali Utara semakin terpuruk tidak memiliki generasi samapi sekarang. Namun, masih untung beberapa pengukir menyadari bahwa seni ukir gaya Buleleng menyimpan ke kahasan yang perlu mereka warisi.
 
Upaya revitalisasi seni Ukir Bali Utara
Upaya revitalisasi tidak mungkin diharapkan dari pihak pengukir, mengingat mereka berasal dari golongan ekonomi lemah. Mereka bekerja untuk menghidupi keluarganya, maka selama pasar masih meminta mereka akan terus memroduksi seni ukir gaya Bali selatan. Oleh karena itu upaya revitalisasi mesti datang dari pemangku kebijakan, kerana secara politik dan finansial mereka memilikinya. Dalam hal ini pemerintah daraeh kabupaten Buleleng mulai memperhatikan keberadaan seni ukir Bali Utara. Hal ini mesti disambut dengan gembira karena ada seberkas harapan ke depan seni ukir Bali Utara akan bangkit kembali minimal di habitanya sendiri.
Revitalisasi diharapkan tidak hanya pada tataran visual saja, tetapi menyentuh ke wilayah yang esensial, yakni bagaimana “roh” Buleleng muncul di dalamnya. Bagimana pun juga suatu kesenian apa pun bentuknya tidak akan lepas dari ungkapan rasa. Seni ukir Bali utara memiliki roh yang berbeda dengan gaya Bali selatan, maka keberbedaan itu yang harus digali. Agar roh Buleleng tetap ada, maka hanya generasi Bulelenglah yang kan mampu mengembalikannya. meskipun generasi pengukir di Buleleng terputus, namun artefak-artefak budaya kejayaan Buleleng masih tersimpan di pura, maka mari kita gunakan pura sebagai “guru”. Cara belajar kadang tidak selamanya kepada guru tetapi kepada benda peninggalan dari guru, seperti halnya Bambang Ekalawya belajar memanah tidak kepada guru Drona, tetapi hanya kepada patung guru Drona. Hasilnya kemampuan memanah Bambang Ekalawya bisa mengimbangi Arjuna yang mendapat bimbingan langsung dari guru Drona.  Hal seperti ini yang kira-kira terjadi dengan para pengukir Buleleng saat ini. 
 
Adanya upaya merivatalisasi seni ukir Buleleng memunculkan harapan agar seni ukir Bali Utara bisa bersanding sama tinggi dan sama rendah dengan seni ukir Bali selatan. Agar harapan itu terwujud, maka perlu dijaga agar spirit revatilasi tidak berhenti di satu titik saja, tetapi berkobar terus-menerus dan menular ke generasi berikutnya. Dengan demikian seni ukir Bali Utara akan hidup kembali minimal di habitatnya sendiri. Seni ukir gaya Bali Utara menjadi modal budaya dalam upaya mengkonter hegemoni dari selatan, sehingga pluralitas akan terpelihara dalam suasana yang salin mengharagi. Semoga!.
Download disini