Sumber : balebengong.net
Tulisan ini dimuat di Majalah Garuda Inflight edisi Februari 2013.
Sekitar pukul 5.30 pagi. Di sekitar kamar penginapan kami agak gelap. Rimbun pohon cengkeh, kopi, dan kakao di samping kamar juga terlihat samar-samar. Seperti bayang-bayang. Mendung membuat pagi terasa lebih gelap.
Pagi masih sepi. Suara serangga malam sudah tak ada lagi. Hanya gemericik air yang terdengar tiada henti. Lalu, suara-suara burung sesekali terdengar mewarnai pagi. Selebihnya kembali sunyi.
Sesunyilah itulah awal tahun 2013 di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Ketika daerah pusat pariwisata lain, misalnya Kuta dan Denpasar, hiruk pikuk oleh meriah perayaan tahun baru, Munduk justru sebaliknya, sepi.
Namun, sepi itulah yang menjadi jualan utama Desa Munduk. Berjarak sekitar 80 km dari Denpasar, ibukota Provinsi Bali, desa ini tidaklah menjadi tujuan wisata utama di Bali, seperti Kuta dan Nusa Dua. Tak banyak fasilitas pariwisata, seperti hotel dan restoran, di desa ini. Rumah-rumah warga pun berjarak jauh satu sama lain, tidak berkumpul seperti pemukiman pada umumnya.
Meskipun demikian, desa ini mudah diakses karena ada jalan raya antarkabupaten yang melewatinya. Lama perjalanan dari Bandara Ngurah Rai Bali ke desa ini sekitar 2,5 jam dengan kendaraan pribadi. Perjalanan ke sini pun sudah menyenangkan karena selain jalanan relatif sepi, pemandangan juga asyik. Gunung, bukit, sawah dan kebun sepanjang jalan.
Jalanan agak sempit serta naik turun dan berkelok-kelok. Kita juga akan melewati tiga danau di kawasan Bedugul, yaitu Beratan, Buyan, dan Tamblingan untuk menuju Munduk.
Desa Munduk biasa dilewati wisatawan di Bali yang ingin berkunjung ke Pantai Lovina, Buleleng di Bali utara. Beberapa di antara turis tersebut kemudian singgah dan menginap di tempat ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Lovina. Kawasan pantai utara Bali ini terkenal dengan atraksi mengejar ikan lumba-lumba di laut lepas.
Penginapan di Desa Munduk umumnya berbentuk pondok-pondok terpisah (cottages). Hal ini karena mereka menyesuaikan dengan lansekap Munduk yang berbukit-bukit naik turun. Eco-tourism adalah alasan utama para pengelola penginapan-penginapan di Desa Munduk. Maka, semua tempat tersebut pun seperti menyatu dengan alam.
Jejak Belanda
Di atas ketinggian antara 600-800 meter, desa ini juga menawarkan pemandangan dengan lembah, bukit, dan danau. Namun, pemandangan utama di desa ini adalah kebun cengkeh, kopi, dan kakao. Ketiganya komoditas mahal bagi petani setempat yang diekspor terutama ke Eropa. Perkebunan di desa ini luasnya hingga sekitar 1.000 hektar, sama dengan luas hutannya.
Barulah di antara luasnya kebun dan hutan tersebut terdapat rumah-rumah warga, kebun, serta bangunan lainnya.
Seperti umumnya perkebunan di Indonesia, perkebunan di Munduk pun warisan Belanda. Sejak tahun 1900-an, ketika menjajah Bali lewat Singaraja, Belanda sudah menjadikan Munduk dan desa-desa sekitarnya sebagai tempat peristirahatan (retreat). Saat itu Singaraja adalah ibukota Provinsi Sunda Kecil. Bali termasuk di dalamnya.
Di Munduk dan desa sekitarnya, seperti Banyuatis dan Gobleg, Belanda membangun guest house. Guest house pertama di Desa Munduk dibangun oleh Belanda pada tahun 1908.
Ketika pariwisata Bali mulai menggeliat Bali sejak tahun 1970-an, warga lokal pun mulai membangun fasilitas-fasilitas pariwisata. Perintis penginapan tersebut adalah Puri Lumbung Cottages. Hingga saat ini dia menjadi salah satu penginapan terkenal di Desa Munduk. Tarif di penginapan ini berkisar antara US $69 hingga US $160.
Namun, masih banyak penginapan lain dengan tarif lebih murah. Misalnya Meme Surung Homestay dengan tarif US $37 hingga US $42 atau Melanting Cottages dengan tarif US $ 65 hingga US $ 110 per malam. Untuk turis lokal, harga bisa turun hingga 50 persen dari harga resmi. Di Melanting, tempat kami meningap misalnya, bisa dapat hingga harga Rp 300.000 per malam untuk satu cottage.
Soal tarif menginap ini ya memang pintar-pintar saja menawar.
Nyaris semua penginapan tersebut menyediakan fasilitas sama, satu pondok terpisah (private cottage) dilengkapi air panas, TV, wifi, serta dapur. Namun, bagi saya, fasilitas paling menyenangkan dari semua pondok tersebut adalah balkon dengan pemandangan alam di depannya. Dari beranda pondok akan terlihat bukit dan lembah dipenuhi rimbun aneka pohon, seperti cengkeh, kopi, dan kakao. Di ujung sana, pada saat cuaca cerah, akan terlihat pantai utara Bali.
Awas Licin
Toh, lebih nikmat lagi jika kita menjelajah ke kebun-kebun di Munduk dan sekitarnya. Inilah kegiatan wisata andalan Munduk. Dengan suhu berkisar 20-25 °C, suhu Munduk sangat sejuk untuk jalan-jalan meskipun medannya relatif menantang karena banyak turunan dan tanjakan.
Trekking merupakan salah satu kegiatan paling banyak dipilih turis di Desa Munduk. Ada beberapa titik menarik untuk dikunjungi di desa ini. Salah satunya air terjun Melanting. Air terjun ini berada di Desa Munduk itu sendiri sehingga tidak terlalu susah untuk mencarinya. Kita bisa menyusuri jalan raya desa ini kemudian menemukan beberapa papan penunjuk ke arah mana kita harus berjalan menuju air terjun tersebut.
Setelah melewati jalan raya, kita harus melewati jalan setapak menuju air terjun Melanting ini. Dari Melanting Cottage di mana kami menginap, perjalanan menyusuri jalan setapak ini menghabiskan waktu sekitar 20-30 menit. Kami menyusuri sungai kecil dengan air jernih mengalir di dalamnya. Air dan udaranya dingin.
Perjalanan menuju air terjun Melanting kemudian melewati kebun-kebun cengkeh, komoditas utama petani di sini. Karena musim panen sudah selesai, biasanya petani setempat panen cengkeh antara Mei hingga Agustus, maka yang tersisa pada pohon-pohon cengkeh hanya daun. Sebagian kecil menyisakan buah cengkeh berwarna kecoklatan dengan aroma khas.
Dari cengkeh-cengkeh inilah, warga setempat menuai kebanggan sebagai petani. Harga per kilogram cengkeh berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 200.000, salah satu harga termahal untuk komoditas di Indonesia.
Kebun-kebun cengkeh, kopi, dan kakao ini berselang-seling dengan lahan kosong di mana kami lewat. Pada salah satu titik, misalnya, kami harus menyusuri jalan licin di atas batu yang agak berlumut dengan lereng curam di sampingnya. Jika tak hati-hati melangkah, kita bisa terpeleset dan jatuh ke lereng curam tersebut. Perjalanan menuju air terjun Melanting bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pencinta penikmat wisata alam terbuka.
Pijak Refleksi
Tantangan tersebut terbayar ketika sampai di air terjun Melanting. Suara air terjun ini riuh sekali di antara sunyi Munduk. Tebing-tebing yang mengelilinginya menjadi semacam peredam suara sehingga riuh air terjun setinggi sekitar 200 meter ini tak terlalu terdengar ke luar.
Siang itu, ketika kami ke sana awal tahun, air tetap jernih meskipun baru saja selesai hujan. Air yang menghunjam ke tanah tersebut menyisakan semacam kolam seluas 20 x 20 meter. Airnya menggelegak karena dijatuhkan dari atas tebing lalu mengaliri sungai-sungai di sekitarnya.
Kolam tersebut aman meskipun Anda harus agak hati-hati karena ada lintah juga. Kedalamnya tak lebih dari setinggi dada orang dewasa. Karena itu, beberapa pengunjung memilih masuk ke kolam tersebut, byur…., lalu menikmati dinginnya air sambil berendam. Dasar kolam air terjun yang berupa batu-batu sungai jadi semacam pijat refleksi setelah menempuh jalan naik turun menuju lokasi ini.
Mandilah sepuasnya sambil berteriak, menyemburkan air ke arah teman, dan hal-hal lain yang tak bisa Anda lakukan di kolam renang biasa. Munduk, di antara sunyinya, memberikan kebebasan kepada kita.
Selain ke air terjun, perjalanan menyusuri alam terbuka juga bisa dilakukan ke persawahan terasering yang perlu waktu lebih lama, sekitar dua jam. Ada pula menyusuri jalan ke Danau Tamblingan yang perlu waktu sekitar 5 jam.
Jika tak suka trekking, ada pula kegiatan lain yang lebih memanjakan kita, seperti memasak ala Bali dan spa. Keduanya bisa jadi pilihan kegiatan selama menikmati sunyi dan sejuk Munduk.
Download disini