sumber : http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
Gedung/Gedong Kirtya (No Inventaris : 3/14-08/STS/53)
Secara administrasi Gedung Kirtya berlokasi di JL. Veteran, No. 20, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, pada titik koordinat 50 L 0290240, 9101415 UTM, dengan ketinggian 61 meter dari permukaan laut. Dengan batas-batas :lokasi gedong kirtya
Utara : Jalan Raya, Kantor Dinas Kesehatan
Timur : Wantilan Sasana Budaya, Museum Buleleng
Selatan : Puri A.A.P. Djelantik
Barat : Lembaga Pemasyarakatan Buleleng
Gedung Kirtya menghadap ke Utara, yang ini menjadi satu kompleks dengan Museum Buleleng, PHDI, Sasana Budaya. Gedung kirtya berada di sisi paling Barat dari komplek ini, Gedung yang memiliki 7 buah bangunan, yaitu 2 buah bangunan kuno, dan 5 buah bangunan baru dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan. Gedung tempat menyimpan lontar berada di sisi paling Utara. Secara umum bangunan menggunakan bahan batu, bata, semen, kayu, asbes, genteng, besi, dan kaca. Pada bagian Timur gedung terdapat 3 buah jendela, 2 buah pintu, bagian Utara terdapat 1 buah jendela, 1 buah pintu, bagian Barat terdapat 2 buah jendela, bagian Selatan terdapat 1 buah pintu (bahan besi). Karakter jendela besar, tinggi, terdiri dari 2 lapis bagian luar yang terbuka keluar hanya menggunakan bahan kayu, sedangkan jendela bagian dalam yang terbuka ke dalam menggunakan bahan kayu dan kaca.
Gedung kirtya memiliki 2 buah gapura yang masih utuh dan kuno. Di setiap gapura terdapat angka tahun pembuatannya. Gapura luar dibuat pada 3 Juni 1939, dan gapura dalam dibuat pada 31 Mei 1933. Karakter gapura masih kuno, bahan yang digunakan adalah bata, semen, pasir dan cat putih. Pada bagian badannya terdapat panil relief pewayangan. Menurut informasi dari Kepala Museum, dahulu hanya terdapat 2 buah bangunan utama, Gedung Kirtya sebagai tempat menyimpan lontar, dan gedung (gudang) yang terdapat di belakang (sampai saat ini masih ada). Saat ini terdapat 5 buah bangunan baru yang merupakan bangunan perkantoran 3 buah, balai bengong 1 buah, dan toilet 1 buah. Gedung kirtya merupakan UPTD dari Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng. Menurut informasi pada awalnya Gedung kirtya dibuat pada masa colonial belanda, lalu diserahakan kepada yayasan, setelah itu diserahkan ke Pusdok Bali, dan sekitar tahun 1986 baru diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Buleleng. Vegetasi sekitar gedung adalah pohon pule, pohon jepun merah, dan rumput di bagian taman.
Gedong Kirtya dibangun di Singaraja oleh seorang Belanda yang bernama L.J.J Caron yang datang ke Bali bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra (lontar) yang ada di seluruh Bali. Kekayaan seni ini sepatutnya di pelihara agar tidak rusak atau hilang sehingga memberikan kesempatan bagi generasi selanjutnya untuk mengetahui isi dari kesenian sastra (lontar) tersebut. Museum ini bermula dari sebuah yayasan yang diberi nama “Kirtya Lefrink – Van der Tuuk” yang bertugas untuk menjaga kesenian sastra tersebut. F.A Lefrink yang merupakan Asistan Resident pemerintah Belanda di Bali pada waktu itu sangat tertarik dengan Kebudayaan Bali dan banyak tulisan yang dibuat mengenai Bali dan Lombok. Dr. H.N Van der Tuuk, seorang sejarahwan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum yang sekarang dikenal sebagai Museum Gedong Kirtya.
Gedung ini terletak di kompleks Sasana Budaya, yang merupakan istana tua kerajaan Buleleng tepatnya Jalan Veteran, Singaraja. Pada masa itu, Singaraja merupakan ibukota Sunda Kecil. Yayasan Van der Tuuk Memasuki 34 tahun kematian Van der Tuuk, diselenggarakan sebuah pertemuan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali. Rapat itu sepakat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk. Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali.
Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk ; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok. Kata “kirtya” diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata “kr “, menjadi “krtya“, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang mengandung “usaha” atau “jerih payah”. Dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini, ratusan tesis magister dan desertasi doctoral telah lahir. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet). Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuna-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko. Tujuan yayasan itu, yakni melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi(diakses) oleh para peminat.
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan,naskah-naskah mana dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu. Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar(pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Mantan Bupati Buleleng Dr. Ketut Wirata Sindhu adalah orang yang telah mengembangkan perpustakaan ini menjadi sebuah museum. Museum ini diberikan khusus untuk sastra yang ditulis pada daun kelapa (lontar) yang berasal dari seluruh Bali.
Di perpustakaan ini terdapat ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam bahasa Bali dan huruf Romawi termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1953). Daftar lontar di Museum Gedung Kirtya antara lain :
a. WEDA (Bali)
1. Weda: Weda Indik Maligia, Weda Pangentas, Weda Panglukatan, Weda Sawawedana.
2. Mantra: Atmaraksa, Pabersihan, Pangastawa, Pujastawa, Tirta Gamana.
3. Kalpasastra: Banten Pangentas, Bebantenan, Caru Suci, Indik Galungan, Manca Balikrama, Pacecaron, Pangabenan, Pawintenan, Plutuk, Sangkul putih.
b. AGAMA
1. Palakerta: Agama, Purwadigama, Awig-awig, Kerta ring Sawah, Stri Sanggraha, Pamastuning, Cor, Widi Pamincatan, Adigama, Paswara, Kutaragama.
2. Sesana: Dasa Sila, Dewa Sesana, Kerta Bujangga, Mantra Sesana, Putra Sesana, Raja Sesana, Resi Sesana, Sarasamuscaya, Sila Krama, Sila Sesana Sang Prabu.
3. Niti: Niti Praja, Niti Sastra, Raja Niti.
c. WARIGA
1. Wewaran: Ala Ayuning Dewasa, Ala Ayuning Wuku, Palelintangan, Pangalihan Dina, Pawacakan, Sadreta, Suryamandala, Tenung Astawara, Tenung Pawetuan anut wuku, Tetenger Sasih
2. Tutur Upadesa: Aji Kalepasan, Atma Tattwa, Badawang Nala, Singaraja Swarga, Brahmandapurana, Buanakosa, Catur Janma, Darma Bayu, Darma Putus, Kamoksan, Purwa Bumi , Rwabineda, Siwatiga, Tantu Pagelaran, Tutur Pralina
3. Kanda: Asta Kosali, Cacakan ayam, Canda (warga aksara), Dasa nama, Guru Lagu, Kanda Sastra, Kertabasa, Kruna lingga, Panerangan, Pangayam-ayam, Pangeger, Pangiwa, Pangujanan, Paramasastra, Paribasa, Pemanes Karang, Pengasihasih, Piodalan, Siksan Kedis, Smara Kanda, Swara Wianjana, Wrettasancaya
4. Anusada: Bebayon, Buda Kecapi, Pakakas, Panawar, Tumbal Leak, Usada Buduh, Usada Rare, Usada Tuju
d. ITIHASA (WIRACARITA)
1. Parwa: Astadasaparwa, Calon Arang, Pamuteran Ksirarnawa, Uttara Kanda
2. Kekawin: Arjuna Wijaya , Arjuna Wiwaha, Barata Yuda, Boma Kawia, Gatotkacasraya, Hariwangsa, Ramayana, Smaradahana, Sumaasantaka
3. Kidung: Alis Alis Ijo, Jagat Karana, Panji Malat Lasmi, Sri Tanjung, Sudamala
4. Gaguritan/ Paparikan: Basur, Brayut, Bungkling, Cupak, Durma, Jayaprana, Megantaka, Pakangraras, Sampik, Salya 5.
e. BABAD
1. Pamancangah: Pamancangah Dalem, Prasasti- prasasti (Brahmana, Sengguhu, Dukuh,dll)
2. Babad: Babad Arya Kenceng, Babad Buleleng, Babad Gianyar, Babad Mengwi , Babad Panji, Sakti Wijaya, Babad Pasek, Babad Pasek Gelgel, Babad Rangga Lawe, Babad Usana Bali, Babad Usana Jawa.
f. TANTRI
1. Tantri Hindu: Kidung Tantri (Bahasa Tengahan), Ni Diah Tantri (Bahasa Bali Kepara, Tantri Kamandaka (Bahasa Kawi)
2. Tantri Bali: Gunawati, Lutung Mungil.
Bangunan Gedong Kirtya merupakan bangunan cagar budaya peninggalan dari masa pemerintah Belanda di Bali. Gedung ini terletak di kompleks Sasana Budaya, yang merupakan istana tua kerajaan Buleleng tepatnya di Jalan Veteran, Singaraja. secara struktural berdasarkan denahnya bangunan Gedong Kirtya menghadap ke utara. Fungsi Bangunan Gedong Kirtya ini dari awal mulai di dirikan sampai sekarang fungsi utamanya tidak pernah berubah sebagai museum penyimpenan lontar-lontar baik yang berasal dari bali maupun dari daerah luar Bali diantaranya dari wilayah Jawa dan Lombok.
Bangunan Gedong Kirtya ini memiliki denah berbetuk persegi empat panjang dan berlantai satu dan di bagi menjadi tiga bagian ruangan dimana dua ruangan di fungsikan sebagai ruang untuk penyimpanan koleksi dan satu ruangan difungsikan sebagai kantor . Dilihat dari bentuk arsitekturnya bangunan Gedong Kirtya ini mencerminkan bangunan-bangunan Eropa (Kolonial) yang cukup banyak dapat kita temui di berbagai daerah di Indonesia. Ciri khas bangunan kolonial berupa tiang-tiang bangunan yang berdimensi besar-besar yang di padukan dengan mempergunakan struktur dari kayu . tapi seiring dengan perkembangan jaman dan seni banguan Gedong Kirtya telah mengalami perubahan penampilan terutama pada bagian dinding luar banguan, sekarang ini pada dinding luar bangunan Gedong Kirtya telah di modifikasi dengan hiasan berornamen cirri khas Bali dengan tempelan dari bahan batu bata dan padas ornament ini Nampak jelas mengelilingi tembok pada bagian luar dari sebelah utara dan timur.
Secara garis besar bangunan Gedong Kirtya struktur ruangannya dapat dibagi menjadi tiga ruangan, yaitu sebagai berikut :
A. Ruangan Penyimpanan Koleksi I
Ruangan dengan luas 72 M² berada pada bagian sebelah selatan dari bangunan Gedong Kirtya untuk menuju ruangan ini terdapat dua akses pintu masuk dimana satu buah pintu masuk dari sebelas selatan dan satunya melalui ruang koleksi II. Tetapi pada saat ini pintu masuk dari sebelah selatan tidak dipergunakan lagi sebagai pintu masuk tetapi sewaktu-waktu pintu ini di buka hanya di fungsikan sebagai fentilasi sirkulasi udara bertujuan untuk demi keamanan terhadap seluruh koleksi-koleksi yang ada didalamnya sehingga untuk menuju ruangan ini kita harus melewati ruang koleksi II. Di mana ruangan ini di tata sedemikian rupa hanya di fungsika sebagai tempat khusus penyimpanan semua koleksi-kolesi lontar yang asli yang terdapat di Gedong Kirtya.
B. Ruangan Penyimpanan Koleksi II
Ruangan ini besaranya tidak jauh berbeda dengan rungan penyimpanan koleksi I yaitu 72 M², ruangan ini berda di tengah dengan akses pintu masuk utama berada di sebelah timur selain sebagai ruangan penyimpanan koleksi ruangan ini juga difungsikan sebagai ruang baca bagi para tamu atau pengunjung yang datang.
C. Ruang Pengelola
Ruangan ini luasanya lebih kecil dari kedua ruangan yang lainya dengan luas 27M², karena ruangan ini hanya fungsikan menjadi ruang kantor kamar mandi dan dapur.
Secara garis besar kondisi bangunan Gedong Kirtya telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Masing-masing gejala kerusakan dan pelapukan ini disebabkan oleh pengaruh alam, teknologi pengerjaan pada masa lalu, kwalitas bahan yang kurang baik dan juga disebabkan oleh manusia. Gejala kerusakan terparah yang dapat kita amati selama kegiatan ini terjadi pada bagian atap bangunan Gedong Kirtya selain pada bagian atap di beberapa bagian kusen pintu dan jendela telah di makan rayap dan bahkan sudah tidak ada lagi yang mempergunakan kusen pintu. Dimana kondisi atap dan kusen pintu dan jendela ini sudah sangat rusak dan perlu kiranya untuk segera diperbaiki, agar secara keseluruhan dapat melindungi dan
mengamankan koleksi-koleksi yang terdapat di dalam bangunan Gedong Kirtya ini. Untuk mencegah gejala kerusakan dan pelapukan yang semakin parah maka sudah seharusnya dilakukan upaya-upaya pelestarian dengan cara perbaikan pada bagian-bagian yang rusak, sehingga gejala kerusakan dan pelapukan yang lebih parah dapat dicegah.
Tim Registrasi (Oktober 2014)
Drs. I Wayan Susila, I Wayan Budi Suartama, I Nyoman Adi Suryadharma, I Made Subrata, I Gusti Putu Karang Putra, Anak Agung Putera, dan I Ketut Jawiarta