Sebagai tujuan wisata, Desa Munduk tak hanya menyajikan panorama alam dan keramahan penduduknya. Satu hal lain yang juga diburu ketika berwisata adalah kuliner khas setempat. Dan desa yang terletak di Bali Utara ini punya satu sajian bubur yang khas. Penduduk setempat menyebutnya bubuh tepeng. Namun Anda bisa menyebutnya bubur tepeng saja.
Kekhasan bubur ini terletak pada penggunaan rempah sebagai bumbu. Sebagai teman, ditambahkan saur daun paku dan olahan labu siam. Sebagai pelengkap, ditaburkan kacang kedelai yang sudah digoreng. Kacang kedelai ini menambahkan rasa gurih ke dalam aroma rempah yang cukup kuat tercium.
Saya pertama kali mencicipi bubur ini ketika sarapan di salah satu warung dekat pasar Munduk. Kali pertama menyuap bubur ini ke dalam mulut, sontak kekagetan yang terasa. Kembali, rasa rempah membuat nafsu makan meningkat. Bagi saya pribadi, tepeng adalah bubur terenak.
Rasa kaget saya kembali terpelatuk ketika Putu Ardana, Bendesa (Ketua Adat) Desa Munduk kalau bubur tepeng di warung dekat pasar bukan yang paling enak. Yang lebih melegenda justru tepeng yang dijajakan berkeliling oleh seorang ibu.
Saat itu siang hari dan kami, tim Ekspedisi Munduk, sudah siap santap siang. Namun begitu tahu ibu penjual bubur tepeng yang legendaris ini datang ke penginapan, kami seperti melupakan makan siang yang sudah tersaji di dapur.
Sejak awal bertemu pun saya langsung tertarik dengan ibu penjual bubur ini. Jika dilihat dari penampilannya, Ia telah berusia lebih dari 50 tahun, mungkin 55. Dengan umur yang sudah tak muda lagi, Ia masih sanggup berkeliling desa, melewati jalananan yang naik dan turun.
Ibu mangku surim nama panjangnya ini menjajakan makanan menggunakan seperti nampan yang terbuat dari kayu. Dan hebatnya, ia menyunggi jajanannya di atas kepala. Padahal, dilihat sekilas saja sudah nampak kalau nampan berisi jajanan tersebut cukup berat.
Saat sedang memikirkan perjuangannya berjualan, bubur pesanan telah tersaji di atas meja. Dari penampilannya, bubur ini agak berbeda dari yang biasa saya nikmati di dekat pasar. Setelah menyuap bubur ini ke mulut, baru saya tahu bedanya.
Pada bubur tepeng dagangannya, saya merasakan keberadaan jamur yang direbus bersama kaldu. Selain itu, rempah dan santan yang dijadikan bumbu terasa lebih kuat, benar-benar “terasa” di mulut. Jamur dan sayuran pakis pun dimasak dengan baik, lengkap dengan bumbu yang pas. Benar-benar bubur yang enak.
Selain menjual bubur tepeng, Ia juga menjajakan olahan ketela. Ketika saya tanyakan apa nama makanan tersebut, Ia hanya menyebutnya sebagai jajanan ketela. Jajanan ini mirip singkong rebus yang ditaburi parutan kelapa serta gula merah cair.
Setelah makan, saya baru tahu ibu penjual tepeng ini bernama Mangku Surim. Ia menjadikan jualannya tersebut sebagai sumber penghasilan utama. Mangku Surim sudah berjualan bubur sejak tahun 1972, artinya sudah 45 tahun berjualan melewati jalan desa yang penuh tanjakan itu.
Setiap harinya, Ibu Mangku berjualan dari jam 11 siang hingga sore. Ia menyudahi berjualan ketika dagangannya habis terjual, atau ketika lelah sudah terasa. Karena itu, Ibu Mangku membatasi dirinya berjualan hingga jam 3 sore.
Ia pertama kali berjualan setelah anak ketiganya lahir. Kondisi ekonomi membuatnya ikut menafkahi keluarga. Awalnya, Ia hanya berdagang di dekat pasar. Lama kelamaan, ia lebih terbiasa berjualan keliling menjajakan dagangannya ke permukiman warga dan penginapan.
Kini, di usianya yang semakin tua, Ia tetap berjualan keliling menjajakan buburnya yang legendaris. Rasa malu melanda diri saya. Melihat kerja kerasnya berjualan selama ini, saya merasa tidak ada apa-apanya di hadapan beliau. Dari perjuangannya mempertahankan hidup, saya belajar untuk selalu keras dalam bekerja. Apalagi hidup ini kian hari kian keras. Terus semangat berjualan, Bu.
Sumber : http://munduk.co