(0362)21342
disparbuleleng@yahoo.com
Dinas Pariwisata

Sekilas Tentang Kota Singaraja

Admin dispar | 15 April 2022 | 779 kali

SINGARAJA adalah ibu kota Kabupaten Buleleng, dengan luas wilayah 27,89 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 90.800 jiwa. "Singa" berarti "singa" dalam bahasa Inggris dan "raja" adalah "raja". Oleh karena itu Singaraja dapat diartikan sebagai "Raja Singa". Meskipun tidak ada singa yang ditemukan di daerah tersebut. Singa biasanya melambangkan keberanian, keberanian, dan keteguhan dalam membela yang benar. Oleh karena itu, singa dijadikan lambang oleh Pemerintah Daerah Buleleng dengan semboyan "Singa Ambara Raja" yang melambangkan semangat dinamis masyarakat (untuk lebih jelasnya lihat bagian patung "Singa Ambara Raja").

Patung Singa Ambara Raja (Singa Bersayap) berdiri kokoh di depan kantor Pemerintah Daerah, tepat di tengah pertigaan antara Jalan Veteran, Jalan Pahlawan, dan Jalan Ngurah Rai.

Gedung-gedung perkantoran Pemerintah Daerah sendiri merupakan gedung-gedung bersejarah. Tempat-tempat tersebut merupakan situs Pemerintahan Belanda pada masa penjajahan, kemudian Kantor dan Kediaman Dinas Gubernur Sunda Kecil yang kemudian disebut Nusa Tenggara. Gedung-gedung tersebut kemudian digunakan sebagai Markas Besar Komando Daerah Pertahanan Kelima, mengawasi wilayah di seluruh Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Setelah pembubaran Kodam di Jawa, bangunan tersebut diubah menjadi hotel yang diberi nama “Hotel Singaraja”.

Belakangan, hotel ditutup dan setelah beberapa kali direnovasi, bangunan tersebut saat ini digunakan sebagai kantor Pemerintah Daerah.

Yang menarik dari kompleks perkantoran ini adalah adanya dua buah patung “naga” (ular) yang menjaga gerbang kompleks dan dua buah tiang listrik peninggalan zaman dahulu. Beberapa patung yang terkikis juga menjadi saksi masa lalu.

Dari lobi gedung utama, eks Pelabuhan Buleleng bisa terlihat dengan jelas. Di ujung jalan Ngurah Rai, di kedua sisi dapat dilihat beberapa bangunan tua bergaya Belanda, dan yang paling menarik dari semuanya adalah apa yang disebut "Kamar Bola" (harfiah "Ball Room" dalam bahasa Inggris dan secara luas disebut "Societeit" di Belanda), terletak di sebelah Markas Besar Polisi Militer (yang juga merupakan bangunan tua bergaya Belanda). Perwira Belanda menggunakan gedung ini sebagai pusat rekreasi seperti bermain biliar dan tenis di lapangan tenis yang terletak di halaman belakang gedung.

Suasana Belanda sangat terasa di sepanjang jalan ini. Sebaliknya, sejajar dengan Jalan Ngurah Rai adalah Jalan Gajah Mada dimana suasana tradisional Bali sangat terasa. Tempat suci keluarga Hindu Bali dapat diamati dengan jelas.

Di eks Pelabuhan Buleleng, di samping bekas kantor KPM yang bobrok, terdapat Kelenteng Tionghoa (disebut "Klenteng") dengan arsitektur Tionghoa yang berwarna-warni. Di sekitar kawasan itu, meski bentuk kapal yang mengarungi jalan telah diremajakan dengan wajah seragam dan ukiran ringan, di balik wajah baru ini, gaya atap Cina kuno masih bisa terlihat. Sebuah program peremajaan (dalam rangka program peremajaan kota Bali) dicanangkan oleh Gubernur Bali dan dilaksanakan oleh Bupati Buleleng pada tahun 1970. Hal ini mewajibkan semua pemilik toko untuk meremajakan tokonya di bawah bimbingan pemerintah setempat. Tidak jauh dari Kuil Cina, ke barat, adalah "Pura Segara", sebuah kuil Hindu yang didedikasikan untuk dewa laut.

Di sebelah selatan terdapat masjid dengan menara yang menjulang tinggi. Semua tempat ibadah ini berdiri berdampingan, bukti nyata bahwa semua pemeluk agama hidup berdampingan secara harmonis di bawah Filosofi Negara Pancasila. Jalan yang membelah bagian bawah kota ini disebut "Kampung Arab" yang secara harfiah berarti "Desa Arab". Faktanya, banyak orang Arab-Indonesia yang tinggal di sini berdampingan dengan orang Tionghoa-Indonesia dan Bali.

Di bagian barat kota, yang dikenal sebagai "Kaliuntu", ada area kontemporer di mana area perumahan dan kantor baru berada. Hampir di tengah kota, berdiri "Pura Agung Jagatnatha", pura terbesar di Bali Utara, pura yang baru didirikan dan layak untuk dikunjungi. Letaknya di Jalan Pramuka, di depan kantor Presiden Polri. Pura ini dibangun untuk menampung seluruh umat Hindu yang tinggal di Bali Utara untuk menunaikan kewajiban agamanya. Kuil ini terbuat dari batu bata lava kering hitam yang dilapisi dengan ukiran Barok Gaya Bali yang khas. Pada hari libur Bali orang dapat menyaksikan umat Hindu mengalir ke pura dengan pakaian rumit dalam kostum upacara Bali: kemeja putih, ikat pinggang kuning, dan hiasan kepala putih.

Di selatan kota, tempat yang patut dikunjungi adalah “Gedong Kirtya”, sebuah perpustakaan manuskrip, satu-satunya di dunia, dan Museum Buleleng (untuk lebih jelasnya lihat bagian “Gedong Kirtya”).

PATUNG “SINGA AMBARA RAJA”

(PATUNG SINGA BERSAYAP)

Singa Ambara Raja (Singa Bersayap) adalah lambang Kabupaten Buleleng. Patung Singa Ambara Raja didirikan di tengah pertigaan depan kantor Pemerintah Daerah Buleleng.

Patung tersebut dibangun di atas fondasi berbentuk segi lima yang melambangkan lima prinsip falsafah negara Indonesia yang disebut Pancasila, yaitu.

1. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Asas Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

3. Asas Persatuan Indonesia.

4. Asas Kedaulatan Rakyat yang dipimpin oleh hikmat Permusyawaratan Perwakilan Rakyat

5. Asas Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Singa Bersayap memiliki dua sayap yang terdiri dari 17 bulu panjang yang melambangkan tanggal 17, tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Singa sedang memegang sejenis jagung, dalam bahasa Bali disebut “Jagung Gembala” sebanyak 8 helai daun yang melambangkan bulan Agustus, 17 Agustus 1945.

Jagung terdiri dari 45 butir melambangkan tahun 1945, 17 Agustus 1945. Semuanya digabungkan untuk melambangkan hari, bulan, dan tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Semboyan “Singa Ambara Raja” mewakili semangat kepahlawanan masyarakat Buleleng.

Patung singa bersayap ditopang oleh 9 kelopak bunga teratai yang melambangkan 9 kecamatan (Kecamatan) di Buleleng.

Tiga ikan gajah melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan kemampuan masyarakat Buleleng. Tiga permata cerah melambangkan kewaspadaan dan kesiapan untuk menghadapi segala macam kemungkinan. Jumlah keseluruhan bulu sayap panjang dan pendek adalah 30 yang melambangkan tanggal 30, tanggal berdirinya Singaraja, ibu kota Buleleng. Tiga tulang yang memegang bulu melambangkan bulan berdirinya Singaraja. Bulu halus yang menutupi tubuh singa berjumlah 1604, melambangkan tahun berdirinya Singaraja. Semuanya digabungkan mewakili hari, bulan, dan tahun kelahiran Singaraja, 30 Maret 1604. Patung ini menjadi landmark populer Bali Utara, Kabupaten Buleleng.