SINGARAJA
adalah ibu kota Kabupaten Buleleng, dengan luas wilayah 27,89 kilometer persegi
dengan jumlah penduduk 90.800 jiwa. "Singa" berarti "singa"
dalam bahasa Inggris dan "raja" adalah "raja". Oleh karena
itu Singaraja dapat diartikan sebagai "Raja Singa". Meskipun tidak
ada singa yang ditemukan di daerah tersebut. Singa biasanya melambangkan
keberanian, keberanian, dan keteguhan dalam membela yang benar. Oleh karena
itu, singa dijadikan lambang oleh Pemerintah Daerah Buleleng dengan semboyan
"Singa Ambara Raja" yang melambangkan semangat dinamis masyarakat
(untuk lebih jelasnya lihat bagian patung "Singa Ambara Raja").
Patung
Singa Ambara Raja (Singa Bersayap) berdiri kokoh di depan kantor Pemerintah
Daerah, tepat di tengah pertigaan antara Jalan Veteran, Jalan Pahlawan, dan
Jalan Ngurah Rai.
Gedung-gedung
perkantoran Pemerintah Daerah sendiri merupakan gedung-gedung bersejarah.
Tempat-tempat tersebut merupakan situs Pemerintahan Belanda pada masa
penjajahan, kemudian Kantor dan Kediaman Dinas Gubernur Sunda Kecil yang
kemudian disebut Nusa Tenggara. Gedung-gedung tersebut kemudian digunakan
sebagai Markas Besar Komando Daerah Pertahanan Kelima, mengawasi wilayah di
seluruh Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Setelah
pembubaran Kodam di Jawa, bangunan tersebut diubah menjadi hotel yang diberi
nama “Hotel Singaraja”.
Belakangan,
hotel ditutup dan setelah beberapa kali direnovasi, bangunan tersebut saat ini
digunakan sebagai kantor Pemerintah Daerah.
Yang
menarik dari kompleks perkantoran ini adalah adanya dua buah patung “naga”
(ular) yang menjaga gerbang kompleks dan dua buah tiang listrik peninggalan
zaman dahulu. Beberapa patung yang terkikis juga menjadi saksi masa lalu.
Dari
lobi gedung utama, eks Pelabuhan Buleleng bisa terlihat dengan jelas. Di ujung
jalan Ngurah Rai, di kedua sisi dapat dilihat beberapa bangunan tua bergaya
Belanda, dan yang paling menarik dari semuanya adalah apa yang disebut
"Kamar Bola" (harfiah "Ball Room" dalam bahasa Inggris dan
secara luas disebut "Societeit" di Belanda), terletak di sebelah
Markas Besar Polisi Militer (yang juga merupakan bangunan tua bergaya Belanda).
Perwira Belanda menggunakan gedung ini sebagai pusat rekreasi seperti bermain
biliar dan tenis di lapangan tenis yang terletak di halaman belakang gedung.
Suasana
Belanda sangat terasa di sepanjang jalan ini. Sebaliknya, sejajar dengan Jalan
Ngurah Rai adalah Jalan Gajah Mada dimana suasana tradisional Bali sangat
terasa. Tempat suci keluarga Hindu Bali dapat diamati dengan jelas.
Di
eks Pelabuhan Buleleng, di samping bekas kantor KPM yang bobrok, terdapat
Kelenteng Tionghoa (disebut "Klenteng") dengan arsitektur Tionghoa
yang berwarna-warni. Di sekitar kawasan itu, meski bentuk kapal yang mengarungi
jalan telah diremajakan dengan wajah seragam dan ukiran ringan, di balik wajah
baru ini, gaya atap Cina kuno masih bisa terlihat. Sebuah program peremajaan
(dalam rangka program peremajaan kota Bali) dicanangkan oleh Gubernur Bali dan
dilaksanakan oleh Bupati Buleleng pada tahun 1970. Hal ini mewajibkan semua
pemilik toko untuk meremajakan tokonya di bawah bimbingan pemerintah setempat.
Tidak jauh dari Kuil Cina, ke barat, adalah "Pura Segara", sebuah
kuil Hindu yang didedikasikan untuk dewa laut.
Di sebelah selatan
terdapat masjid dengan menara yang menjulang tinggi. Semua tempat ibadah ini
berdiri berdampingan, bukti nyata bahwa semua pemeluk agama hidup berdampingan
secara harmonis di bawah Filosofi Negara Pancasila. Jalan yang membelah bagian
bawah kota ini disebut "Kampung Arab" yang secara harfiah berarti
"Desa Arab". Faktanya, banyak orang Arab-Indonesia yang tinggal di
sini berdampingan dengan orang Tionghoa-Indonesia dan Bali.
Di bagian barat kota,
yang dikenal sebagai "Kaliuntu", ada area kontemporer di mana area
perumahan dan kantor baru berada. Hampir di tengah kota, berdiri "Pura
Agung Jagatnatha", pura terbesar di Bali Utara, pura yang baru didirikan
dan layak untuk dikunjungi. Letaknya di Jalan Pramuka, di depan kantor Presiden
Polri. Pura ini dibangun untuk menampung seluruh umat Hindu yang tinggal di
Bali Utara untuk menunaikan kewajiban agamanya. Kuil ini terbuat dari batu bata
lava kering hitam yang dilapisi dengan ukiran Barok Gaya Bali yang khas. Pada
hari libur Bali orang dapat menyaksikan umat Hindu mengalir ke pura dengan
pakaian rumit dalam kostum upacara Bali: kemeja putih, ikat pinggang kuning,
dan hiasan kepala putih.
Di selatan kota, tempat yang patut dikunjungi adalah “Gedong Kirtya”, sebuah perpustakaan manuskrip, satu-satunya di dunia, dan Museum Buleleng (untuk lebih jelasnya lihat bagian “Gedong Kirtya”).
PATUNG
“SINGA AMBARA RAJA”
(PATUNG
SINGA BERSAYAP)
Singa
Ambara Raja (Singa Bersayap) adalah lambang Kabupaten Buleleng. Patung Singa
Ambara Raja didirikan di tengah pertigaan depan kantor Pemerintah Daerah
Buleleng.
Patung tersebut dibangun di atas fondasi berbentuk segi lima yang melambangkan lima prinsip falsafah negara Indonesia yang disebut Pancasila, yaitu.
1. Prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Asas
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Asas
Persatuan Indonesia.
4. Asas
Kedaulatan Rakyat yang dipimpin oleh hikmat Permusyawaratan Perwakilan Rakyat
5. Asas
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Singa
Bersayap memiliki dua sayap yang terdiri dari 17 bulu panjang yang melambangkan
tanggal 17, tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Singa
sedang memegang sejenis jagung, dalam bahasa Bali disebut “Jagung Gembala”
sebanyak 8 helai daun yang melambangkan bulan Agustus, 17 Agustus 1945.
Jagung
terdiri dari 45 butir melambangkan tahun 1945, 17 Agustus 1945. Semuanya
digabungkan untuk melambangkan hari, bulan, dan tahun proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Semboyan
“Singa Ambara Raja” mewakili semangat kepahlawanan masyarakat Buleleng.
Patung
singa bersayap ditopang oleh 9 kelopak bunga teratai yang melambangkan 9
kecamatan (Kecamatan) di Buleleng.
Tiga
ikan gajah melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan kemampuan masyarakat
Buleleng. Tiga permata cerah melambangkan kewaspadaan dan kesiapan untuk
menghadapi segala macam kemungkinan. Jumlah keseluruhan bulu sayap panjang dan
pendek adalah 30 yang melambangkan tanggal 30, tanggal berdirinya Singaraja,
ibu kota Buleleng. Tiga tulang yang memegang bulu melambangkan bulan berdirinya
Singaraja. Bulu halus yang menutupi tubuh singa berjumlah 1604, melambangkan
tahun berdirinya Singaraja. Semuanya digabungkan mewakili hari, bulan, dan
tahun kelahiran Singaraja, 30 Maret 1604. Patung ini menjadi landmark populer
Bali Utara, Kabupaten Buleleng.