Meneer Belanda Diabadikan Dengan Relief Naik Sepeda
Admin dispar | 03 Desember 2015 | 1579 kali
Sumber: Jawa Pos Rabu 2 Desember 2015
Pura kahyangan jagat maduwe karang yang ada di desa kubutambahan,di kenal sebagai pura yang unik dari segi ukiran. Terutama ukiran seorang pria yang mengendarai sepeda. Konon ukiran itu perwujudan seorang meneer belanda yang di segani masyarakat setempat.
Sejumlah wisatawan asal Spanyol, berjalan cepat dari jeroan Pura Maduwe Karang. Rombongan wisatawan yang berjumlah enam orang itu, baru saja melihat-lihat ukiran yang ada di pura tersebut. Mereka ditemani Komang Sugiada, petugas Tourist Information Service(TIS) yang setiap harinya bertugas mendampingi wisatawan yang berkunjung ke pura itu. " Gracias por su visita. adios," ujar Sugiada dengan bahasa Spanyol yang cukup lancar. Bahasa itu di ucapkan setelah para wisatawan berjalan keluar dari pura. Kurang lebih artinya terimakasih atas kunjungannya, sampai jumpa kembali. Pura Maduwe Karang memang tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan manca negara. Setiap harinya, selalu ada wisatawan mancanegara yang berwisata ke pura tersebut. Daya tarik utamanya, ukiran meneer Belanda yang menaiki sepeda, lengkap dengan kamben dan udeng. Ukiran meneer itu juga menjadi salah satu pertimbangan, hingga akhirnya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar)
menetapkan Pura Maduwe Karang sebagai cagar budaya pada juni 2008 silam.
Pura Maduwe Karang diketahui dibangun pada tahun 1890 dan selesai dibangun pada tahun 1895. Layaknya pura-pura tua yang berdiri di Bali Utara, ukiran serta ornamen yang ada di pura ini, khas dengan ukiran gaya Buleleng. Ukiran yang didominasi tanaman-tanaman rambat.
Selain ukiran khas Buleleng, ada pula ukiran wujud raja Buleleng Ki Barak Panji Sakti, Ukiran Ganesha, serta ukiran penari Legong. Tuntas dengan ornamen ukiran di seluruh bagian pura, sejak 1895, pura akhirnya digunakan sebagai pusat kegiatan spiritual.
Kala itu, kegiatan yang dilakukan di pura ini bukan hanya persembahyangan. Namun juga upacara meajar-ajar (upacara pasca ngaben). Masyarakat yang tidak bisa ke Besakih, cukup melakukan meajar-ajar di Pura Maduwe Karang dengan cara ngayat ke Besakih. Maklum saja, zaman itu transportasi belum sebagus kini.
Hingga pada tahun 1904, datang seorang Meneer Belanda yang bernama W.O.J. Nieuwenkamp. Tak diketahui pasti darimana asal-usulnya. Ada yang menyebutnya sebagai pelukis keliling dunia. Namun ada pula yang menyebutnya sebagai seorang pejabat di era kolonial.
Setahu saja, dia itu pejabat kolonial di Tangsi Belanda. Dia bertugas keliling dan pernah tugas di Batavia juga," jelas Komang Sugiada.
Terlepas dari asal-usulnya, Nieuwenkamp memberikan pengaruh besar bagi masyarakat di Kubutambahan, juga memberikan pengaruh besar bagi ukiran di Pura Maduwe Karang. Nieuwenkamp dikenal sebagai meneer yang murah hati, sehingga disegani dan dihormati masyarakat.
sebagai bentuk penghargaan, masyarakat ingin mengabadikan Nieuwenkamp melalui media ukiran di Pura Maduwe Karang. Nieuwenkamp pun setuju. "Katanya dulu dia setuju diukir, biar nanti ada banyak turis yang datang kesini. Pura ini biar terkenal ke seluruh dunia," cerita Sugiada.
Nieuwenkamp pun diukir di sisi utara jeroan Pura Meduwe Karang.Nieuwenkamp digambarkan sebagai sosok meneer Belanda yang mengenakan kamben dan udeng sambil mengendarai sepeda. Ukiran itu dikerjakan tiga orang sesepuh di Kubutambahan, yakni Kaki (Kakek, Red) Balag, Kaki Jeneng, dan Kaki Ragia.
Yang dibuat unik , misalnya roda sepeda bermotif bunga dan motif trisula. Selain itu wajahnya memang dibuat mirip bule dengan hidung panjang.
Ucapan Nieuwenkamp kala itu pun terbukti.Kini, Pura Meduwe Karang ramai kunjungan wisatawan mancanegara. Utamanya dari Perancis dan Belanda. Wisatawan dari Perancis bahkan bersedia berlama-lama di pura itu dan masih menyisihkan punia sekadarnya, hanya untuk mendengarkan kisah berdirinya pura ini.(Eka Prasetya/art)
Tapel Rangda Tak Pernah " Mesolah "
Sebagai pura kahyangan jagat, Pura Maduwe Karang juga punya tradisi sakral,utamanya tiap kali piodalan ageng dilaksanakan. Tradisi itu berupa mesolah - nya tapel - tapel (topeng di pentaskan) yang menjadi inventaris pura ini. Ada beberapa tapel yang di miliki pura ini. Yakni tapel bojog,hanoman, rangda lanang istri,serta simbul kumba karna." setiap piodalan semestinya tapel nika mesolah.
tapi sudah rapuh, mau gimana lagi. dipegang saja rusak,"jelas jro mangku istri komang sariani.Selain tapel - tapel yang mesolah,ada juga tradisi mendak yang biasanya yang di lakukan muda-mudi di sekitar pura. Setiap kali mendak, muda-mudi memainkan gong gambus, gong gede, kempul, dua buah kupekalit, serta suling. Namun belakangan ini suling jarang dimainkan karena sudah rapuh. Disamping itu, muda-mudi jarang yang memainkan peralatan musik tradisional itu. "Masih ada yang memainkan. Tapi yang paling sulit cari yang mau main suling. Susah sekarang cari bajang-bajang yang mau main suling" imbuhnya. Jro mangku istri menuturkan, pihak pura kini telah membuat duplikat tapel-tapel yang seharusnya mesolah setiap piodalan. Dengan harapan tradisi dan warisan yang seharusnya dijalankan, bisa trus berlangsung tanpa harus terkendala rapuhnya barang peningalan leluhur.(eps/art)