2.000 Krama Desa Busungbiu Berburu Kijang, Pujawali Mundur Tanpa Ini
Admin dispar | 14 Oktober 2016 | 559 kali
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA | Sekitar 2.000 krama Desa Pakraman Busungbiu, Buleleng melaksanakan ritual meboros atau berburu kijang di hutan, Rabu (12/10/2016).
Ritual meboros ini dilakukan sebagai satu bagian dari rangkaian upacara pujawali alit.
Langit masih gelap, ribuan krama telah berkumpul di Pura Desa Busungbiu untuk melaksanakan persembahyangan sebelum berangkat ke lokasi yang diyakini ada kijangnya.
Pencarian lokasi meboros sudah dilakukan beberapa hari sebelum dilaksanakan agar lebih mudah menemukan kijang saat ritual.
Kali ini lokasi meboros dilaksanakan di perkebunan kawasan Pangkungbiu, Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, Buleleng.
Karena lokasi meboros sudah masuk wilayah desa lain, maka krama juga melaksanakan persembahyangan di Pura Desa Titab untuk memohon doa restu kepada Ida Betara yang berada di Kayangan Tiga.
Sembari mengenakan mukih, yakni udeng yang terbuat dari pelepah pohon pinang serta perlengkapan berburu, ribuan krama ini berangkat ke lokasi yang diyakini ada kijang. Mereka membentuk formasi melingkar untuk mengepung kijang.
Saat formasi sudah terbentuk, para pemboros (pemburu) saling bersorak-sorai untuk mengagetkan kijang agar keluar dari persembunyiannya.
Saat kijang itu berusaha berlari, ribuan krama sudah bersiap untuk menangkapnya.
Saat didapati, kijang itu dilumpuhkan dengan berbagai senjata seperti tombak, parang dan celurit.
Hari itu, para pemboros cukup beruntung, seekor kijang sudah didapatkan dalam waktu yang tergolong cepat. Pagi menjelang siang pukul 10.15 Wita, kijang berhasil ditangkap.
Kijang yang tertangkap itu kemudian diusung beramai-ramai oleh para pemboros untuk dibawa ke Desa Pakraman Busungbiu.
Sesampainya di perbatasan desa, rombongan pemboros yang membawa kijang hasil buruan disambut dengan tetabuhan gong dan tari-tarian untuk selanjutnya diarak menuju pura desa.
Sampai di pura desa, kijang itu diupacarai sebelum disembelih untuk bukakak.
Setelah itu, bukakak dipanaskan dengan api atau dihangatkan sampai tiba waktunya upacara pujawali alit tiga hari kemudian.
Kelian Desa Pakraman Busungbiu, I Nyoman Dekter mengatakan, antara ritual meboros dengan pelaksanaan upacara pujawali diberikan tenggat tiga hari untuk memberikan kesempatan kepada pemburu sampai mendapatkan kijang.
Beruntung kali ini kijang sudah didapatkan hanya dalam waktu sehari.
“Kalau sampai tiga hari tidak dapat kijangnya maka pujawalinya harus diundur, karena kijang menjadi sarana upacara yang harus dipenuhi di desa kami, tanpa kijang upacara tidak bisa dilakukan,” kata Dekter.
Upacara pujawali akan dilaksanakan Sabtu (15/10/2016).
Ketika itu bukakak akan dibuat lawar dan dibagikan kepada ribuan krama desa.
Saat pujawali ini cukup seekor kijang sudah memenuhi persyaratan untuk dijadikan sarana upacara.
Berbeda dengan pujawali agung yang membutuhkan minimal dua ekor kijang, satu untuk bukakak dan satu lagi untuk lawar.
Upacara pujawali ini dilaksanakan setiap lima tahun dua kali.
Jarak waktu antara pujawali agung menuju pujawali alit dua tahun sedangkan dari pujawali alit ke pujawali agung tiga tahun.
“Kami pakai kijang sebagai sarana upacara karena memang sudah dari leluhur kami dari dulunya sudah seperti itu, tanpa kijang upacara tidak bisa dilaksanakan,” ucapnya.
Sementara itu, sehari sebelum pelaksanaan ritual meboros, Selasa (11/10/2016) petang sekitar pukul 19.00 dilaksanakan ritual upacara ngajet di pura desa.
Ini dilaksanakan supaya ritual meboros yang dilaksanakan keesokan harinya berjalan lancar.
Tengah malam tepat pukul 00.00 Wita dilaksanakan tarian sakral meboros.
Tarian ini menggambarkan ritual meboros, sejumlah penari ada yang membawa tombak dan ada penari yang berperan sebagai kijang.
Dekter mengakui kini semakin sulit untuk berburu kijang karena beberapa sebab. Antara lain karena kini luas hutan di Busungbiu semakin berkurang dan lokasinya hanya berupa perkebunan.
Selain itu juga keberadaan kijang yang semakin sulit dijumpai. Sementara upacara pujawali dengan menggunakan kijang sebagai sarana upacara merupakan satu ritual di desanya yang harus tetap dilaksanakan.
“Kami melakukan meboros karena kijang merupakan sarana upacara yang sulit didapatkan tetapi harus dipenuhi. Kami sekarang susah dapat kijang karena beda dengan dulu yang masih berupa alas (hutan), sekarang hanya berupa kebun,” pungkasnya.
Download disini