Warisan Semangat Pluralisme Jayapangus terhadap kebudayaan di Bali
Admin dispar | 26 Januari 2016 | 1752 kali
Kompas.com, Budaya Tionghoa turut andil membentuk kebudayaan Bali saat ini. Jika dirunut, bisa jadi, semua itu bermula ketika Raja Sri Jaya Pangus jatuh cinta.
Konon, pada tahun 1181 Masehi, Raja Sri Jaya Pangus berkuasa di kerajaan Panarajon, bukit Penulisan, Kintamani, Bali. Suatu waktu, ia ingin mempersunting Kang Ching Wie, seorang putri cantik yang merupakan anak saudagar kaya dari Tiongkok yang sedang singgah di Bali.
Para sesepuh yang tidak merestui percintaan itu meramal bahwa Panarajon akan hancur apabila Jaya Pangus bersikeras mengawini Kang Ching Wie. Namun, Jaya Pangus keras kepala dan berbagai tragedi pun terjadi.
Panarajon hancur dan Raja Jaya Pangus lari ke Desa Pinggan, Kintamani, untuk membangun kerajaan baru yang kini menjadi Pura Dalem Balingkang. Meski punya kerajaan baru, Jaya Pangus tetap sedih. Ia dan Kang Ching Wie tidak kunjung dikaruniai anak.
Jaya Pangus pun memutuskan bertapa di sekitar Danau Batur, memohon untuk diberi anak. Namun, Jaya Pangus justru bertemu dengan Dewi Danu, putri Batari Batur. Mereka pun akhirnya menikah.
Ketika menyusul suaminya yang tidak kunjung pulang, Ching Wie merasa terpukul mengetahui Jaya Pangus menikahi Dewi Danu. Ching Wie dan Dewi Danu pun bertengkar. Batari Batur yang melihat pertengkaran itu akhirnya memusnahkan Jaya Pangus dan Kang Ching Wie.
Masyarakat Bali pun sedih kehilangan raja mereka dan memohon kepada Batari Batur untuk membuat pratima (patung sakral) untuk mengenang Jaya Pangus dan istrinya. Sejak saat itu, di beberapa pura di Bali ada semacam tempat yang menyerupai kelenteng untuk menghormati Kang Ching Wie. Hindu dan Buddha yang menjadi representasi Bali dan China pun bersatu.
Pengaruh budaya Tionghoa juga tampak dalam beberapa tradisi keagamaan umat Hindu di Bali. Misalnya, penggunaan uang kepeng (uang dengan lubang di tengahnya sebagai sarana upacara agama) dan adanya Barong Landung yang merupakan simbol Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie. Barong Landung berupa sepasang barong berwujud manusia yang bermakna sebagai pembawa kedamaian.
Legenda
Dalam buku Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali dan Indonesia, terbitan Universitas Udayana tahun 2011, I Made Bandem menyebut bahwa kisah Raja Jaya Pangus merupakan legenda. Namun, sosok Raja Jaya Pangus memang nyata. Dua prasasti, yaitu Prasasti Buwahan dan Prasasti Sibang Kaja pada abad ke-12 menyebut Raja Jaya Pangus merupakan salah satu raja besar yang berkuasa di Bali pada tahun 1181-1204 Masehi.
Untuk lebih memahami legenda itu, Kompas mengunjungi tiga pura di Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, yang menjadi bagian dari legenda itu, Sabtu (10/12). Ketiga pura itu, Pura Pucak Penulisan, Pura Dalem Balingkang, dan Pura Ulun Danu Batur.
Pura Pucak Penulisan terletak di Desa Sukawana, Bangli, sekitar 70 kilometer dari Denpasar. Pura yang menjadi pusat kerajaan Panarajon ini tinggi sekitar 1.750 meter dari permukaan laut. Untuk mencapai pura harus melewati 283 anak tangga.
Rasa lelah saat meniti tangga seolah hilang ketika memasuki areal pura. Kabut tipis terlihat mendekat dan suara angin menggesek pepohonan, bagaikan suara debur ombak dari kejauhan.
Pura ini menyimpan beragam patung kuno dan ornamen dari batu. Pengamat budaya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kadek Suartaya, mengatakan, patung-patung batu itu peninggalan pemerintahan Raja Sri Kesari Warmadewa selama abad ke-8 hingga abad ke-11. Jaya Pangus menjadi raja terakhir di Panarajon.
Bendesa Adat Desa Pinggan Made Seden mengisahkan, Raja Jaya Pangus pergi ke Desa Pinggan setelah Panarajon dilanda bencana berupa hujan dan angin besar. Setiba di Desa Pinggan, Jaya Pangus mulai membangun Dalem Balingkang yang dapat diartikan penyatuan ”Bali” dan marga Tionghoa, ”Kang”.
Di areal Pura Balingkang terdapat pelinggih (tempat suci) Ratu Ayu Mas Subandar untuk menghormati Kang Ching Wei yang bernuansa Tionghoa. Ada lampion merah dan hiasan piring keramik serta guci China.
Pelinggih serupa ditemui di Pura Ulun Danu Batur di Desa Batur, Kintamani, yaitu pelinggih I Gede Ratu Ngurah Subandar. Tidak hanya umat Hindu dan Buddha saja yang boleh bersembahyang di tempat itu, tetapi semua orang. ”Tidak apa-apa karena Tuhan hanya satu, sementara manusia memiliki cara berbeda-beda untuk memuja-Nya,” kata pemuka agama Pura Ulun Danu Batur I Wayan Sukadia.
Keharmonisan dan pluralisme yang menjadi pesan utama dari legenda Jaya Pangus ini membuat dalang dan dosen ISI Denpasar, I Made Sidia, tertarik untuk mementaskannya. Legenda ini pun dikemas dengan megah di Bali Safari and Marine Park di Kabupaten Gianyar, Bali. Selain dipentaskan lebih dari 150 penari, pertunjukan berjudul ”Bali Agung” ini juga melibatkan sejumlah satwa.
Dengan dipentaskan secara rutin, Made berharap penonton bisa diingatkan bahwa keharmonisan beragama sangat indah. Apalagi saat ini konflik yang terjadi lebih banyak bermula dari perselisihan antar-agama. Jadi, warisan Jaya Pangus ini sangat relevan untuk masa kini.
(Herpin Dewanto)
Download disini