(0362)21342
disparbuleleng@yahoo.com
Dinas Pariwisata

Situs Budha Desa Kalibukbuk

Admin dispar | 01 Mei 2019 | 1054 kali

Candi Buddha di Kalibukbuk adalah peninggalan pada abad antara ke 9 / 10. Pada abad itu telah berkembang ajaran Buddha di Jawa Tengah pada jaman Mataram kuno dan pada jaman raja Empu Sindok bergeser ke Jawa Timur. Empu Sindok beragama Ciwa, namun agama Buddha Tantrayana juga diberikan berkembang. Seni budaya tumbuh dengan suburnya. Empu Sindok mempunyai cicit perempuan bernama Mahendradatta pergi ke Bali, kawin dengan raja Bali yang bernama Warmadewa Udayana. Mahendradatta bergelar Gunapriyadharmapatni yang rupanya lebih berpengaruh dalam bidang kerohian daripada sang raja Udayana yang penganut Buddha Mahayana. Dari pasangan ini melahirkan Erlangga yang kemudian menjadi raja di Kediri Jawa Timur.

Di Pulau Bali pada jaman Bali Kuna terdapat sekitar sembilan sekte keagamaan, yaitu Bhairawa, Pasupata, Siwa Sidanta, Waisnawa, Budha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Terjadilah persaingan yang sangat tajam di antara mereka. Masing-masing sekte menyatakan bahwa dewa pujaan mereka sendiri (istadewata) adalah yang paling utama sedangkan yang lain dianggap lebih rendah. Jadi, dari bidang keagamaan kondisi masyarakat Bali jaman itu terancam konflik.

Walaupun tidak mengganggu jalannya pemerintahan, namun kondisi seperti itu menjadi pengamatan Sri Gunapriyadharmapatni beserta raja Udayana, sehingga perlu mendatangkan Empu Kuturan dari Jawa untuk diangkat sebagai Senapati namun beliau menolak. Tetapi Empu Kuturan kemudian berhasil menjadi Ketua Majelis "Pakira-kiran I Jro Makabehan". Empu Kuturan yang sebagai penganut ajaran Buddha sangat memperhatikan kondisi Bali pada waktu itu. Maka dipandang perlu menghimpun para Pandita asal dari Jawa. Mereka adalah Empu Kuturan, Empu Smeru, Empu Gana, Empu Gni Jaya dan Empu Beradah. Mereka
datang ke Bali, kecuali Empu Beradah yang tetap berada di Jawa. Mereka membuat pertemuan besar di Pura Samuan Tiga.

".........nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung Çiwa Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga".

Artinya:
"....dahulu kala pada saat bertahtanya Cri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga.

Untuk menyatukan seluruh konsep yang berkembang dalam masing- masing sekte, maka Panca Pandita di bawah pimpinan Empu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang sejak itu menjadi pegangan hidup masyarakat di Bali.

"Ndan len kita Buddha rupa Ciwa pati urip ikang tri mandala,Sang sangkan paraning sarat ganal alit kita ala ayu kojaring aji.Upetti stitti lilaning dadi kita katramanani paramarta Sogata.

Artinya:
"Tidak lain Engkau Buddha yang berupa Ciwa, berkuasa menghidup- matikan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta dan Engkaulah yang menjadi pokok asal sekalian kehidupan besar kecil di dunia, serta yang menciptakan adanya baik dan buruk, demikian ajaran agama yang berasaskan nilai-nilai kelahiran dan kematian yang diciptakan tiada lain oleh Engkau Ciwa-Buddha".

Pemahaman Ciwa-Buddha dan Tri Murti dijadikan dasar falsafah keagamaan di Bali. Konsep ini diterapkan di desa pakraman di Bali dalam bentuk Kahyangan Tiga. Di setiap keluarga didirikan bentuk Sanggah Kemulan.

Juga disebutkan Sanghyang Kamahayanikan merupakan inti ajaran Ciwa Buddha yang diterapkan dan sejak itu sampai sekarang menjadi dasar peri kehidupan beragama di Bali. Perkembangan kebudayaan bersumber dari falsafah dan ajaran Empu Kuturan.