(0362)21342
disparbuleleng@yahoo.com
Dinas Pariwisata

Pusaka Budaya Bali Utara

Admin dispar | 23 Mei 2015 | 5866 kali

A.    Ki Gusti Ngurah Panji Sakti :Cikal Bakal Kota Singaraja


        Pulau Bali pada abad IX Masehi di kuasai oleh Dinasti Warmadewa. Akan tetapi pada permulaan abad XIV Masehi sebagai dampak dari politik ekspansi

Majapahit,maka Bali jatuh ke tangan Majapahit sebagai daerah vasalnya. Sebagai penguasa daerah ini dianggkatlah seorang Brahmana dari Daha (Kediri), yaitu Kepakisan yang

kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan yang berkuasa dari tahun 1350-1380. Semenjak itu pulau ini dikuasai dan diperintah oleh Dinasti Kepakisan. Adapun yang menjadi

pusat pemerintahannya berpindah-pindah, yaitu pertama di Samprangan, ke dua di Gelgel, dan yang terakhir di Kelungkung (Semara Pura). Zaman keemasan yang dicapai oleh Dinasti

Kepakisan adalah pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong yang berkuasa dari tahun 1460-1550 dan beristana di Gelgel. Akan tetapi setelah raja ini wibawa atau kekuasaan

dari dinasti ini mengalami kemunduran. Pengganti dari Dalem Watu Renggong  adalah Dalem Bekung pada tahun 1550-1580, dan digantikan Dalem Sagening yang berkuasa dari tahun

1580 sampai 1605(lihat Sunada, 1988; Simpen, 1989).
    Pada waktu Dalem Sagening ini berkuasa, mereka mempunyai istri dari daerah Den Bukit (Kini Buleleng/ Bali Utara) tepatnya di Desa Panji yang bukan dianggap sebagi

permaisuri. Dari perkawinan ini diperoleh seorang putra laki-laki yang mempunyai keistimewaan yang nantinya dikenal dengan Ki Barak Panji Sakti (lihat Simpen, 1989). Oleh

karena Dalem Sagening (ayahnya) merasa khawatir akan wibawanya luntur dengan kehadiran putra yang bukan dari permausurinya dan akan munculnya konplik di Kraton Gelgel sebagai

akibat perebutan tahta, maka raja membuat strategi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
    Adapun strategi yang digunakan oleh Raja Dalem Sagening, yaitu meminta agar Ki Barak Panji pulang ke asal ibunya di Desa Panji Den Bukit. Perjalanan Ki Barak Panji

yang diikuti oleh ibunya Si Luh Pasek dan diiringi oleh 40 orang prajurit Gelgel di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Masing-masing prajurit dibekali sebilah keris dan

untuk Ki Barak Panji juga diberikan. Keris yang diberikan oleh ayahnya diberi nama Mundaran Cacaran Bang dan juga diberikan bebaru sebatang suligi (lembing) yang dinamai Ki

Tunjung Tutur serta diberikan bendera bernama Pangkajatatu (lihat Simpen, 1989). Setelah semuanya siap dan mereka berpamitan lantas mereka pun melanjutkan perjalanan dengan

menelusuri hutan atau pun semak-belukar dan mendaki perbukitan atau pegunungan yang menghadangnya.
    Ketika mereka telah sampai di daerah yang agak datar di daerah Watsuga (Batumejan), daerah Den Bukit, istirahatlah mereka dengan membuka perbekalan yang dibawahnya.

Akan tetapi ketika selesai makan ketupat, mereka pada kebingungan untuk mendapatkan air minum. Pada saat itu secara tidak sengaja Si Luh Pasek menancapkan bendera Ki

Pangkajatua ternyata terjadi keajaiban, yaitu terprecik air kemudian digali dibuat semacam kubangan kecil sebesar priuk yang airnya terus mengalir tetapi volume airnya hanya

tetap seperti semula walaupun ditimba beberapa kali (lihat Simpen, 1989). Oleh karena itu air suci itu dinamai Banyu Anaman (Tirta Ketipat) dan sampai sekarang tempat ini

dimuliakan oleh semua umat Hindu di Bali dengan dibangunnya Prahyangan.
    Sehabis melakukan persembahyangan dan santap di tempat tersebut mereka melanjutkan perjalanan menuju arah barat laut, menuju Desa Gendis (Panji). Setibanya di desa

ini, para pengiringnya yang berjumlah 40 orang itu kembali ke Gelgel hanya 38 orang, sedangkan dua orang yaitu Ki Dumpiung dan Ki Dosok tetap setia mendampingi Ki Barak

Panji.
    Sementara itu desa Gendis (Panji) dikuasai oleh Ki Punggahan Gendis yang berprilaku sangat buruk yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu rakyat pada

umumnya tidak senang padanya, melihat hal tersebut tampaknya Ki Barak Panji tidak suka sehingga terjadi peperangan dan akhirnya dibunuh olehnya. Semenjak meninggalnya Ki

Pungagakan Gendis ini akhirnya Desa Gendis diperintah oleh Ki Barak Panji dengan penuh kearifpan, gagah berani, adil dan bijaksana. Hal ini dibuktikan ketika beliau mendengar

ada kapal layar Tionghoa bernama Ki Dompo Awang (San Po Kong) terdampar di pantai segare penimbangan, denga serta merta menolongnya. Berket pertolongannya itu akhirnya

penguasa desa Gendis ini diberi hadiah seisi kapal tersebut (lihat Simpen, 1989). Kepemimpinan Ki Barak Panji semakin lama semakin terkenal dan memperhatikan kesejahteraan

rakyatnya dengan melakukan pembangunan disegala bidang baik pisik maupun non pisik (spiritual). Oleh karena itu penduduk desa Gendis dan sekitarnya secara bulat mendaulatnya

untuk menjadi raja dan dinobatkan dengan gelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
    Dalam upaya mencari tempat yang agak datar sebagai pusat pemerintahannya, maka kota Gendis beserta Khayangan Bale Agungnya dipindahkan ke Utara Desa Panji. Pada

tempat baru inilah didirikan istana yang lengkap dengan khayangan Pura Bale Agung serta untuk memeriahkan upacara yang akan dilakukan di Pura dan atau di luar Pura dan

sebagai hiburan juga sifatnya, maka dibuatkannya seperangkat gamelan Gong dengan nama masing-masing, (1) Dua buah gongnya diberi mana Bentar Kedaton; (2) Sebuah bendennya

dengan nama Ki Gagak Kora; (3) Sebuah kenuknya dengan nama Ki Tudung Nusuh; (4) Terompong dengan nama Gelagah Ketunon;  (5) Gendangnya dinama Gelap Kesanga; dan (6)

keseluiruhan perangkat gambelan ini diberinama Juruh Setukad, suaranya yang merdu dan manis bagaikan air madu yang mengalir (lihat Simpen, 1989; BPS 2002).
Berkat kepiawaianya dan kewibawaannya maka penguasa kawasan Bondalem, Ki Alit Mandala menyatakan tunduk kepadanya dan atas kesetiaannya itu maka diberikan kekuasaan lagi

untuk menguasai wilayah buleleng bagian timur termasuk Bondalem didalamnya.
    Dalam upaya mencari tempat yang strategis maka pusat pemerintahan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang ada di Panji di pindahkannya pada tahun 1584 ke arah utara Desa

Sangket. Tempat baru inilah yang nantinya disebut Sukasada seperti sekarang yang memiliki arti bahwa raja bersama rakyatnya selalu dalam keadaan suka cita. Keunggulan dari

raja ini juga diakui oleh penguasa kawasan Tebusalah di Buleleng Barat, yaitu Kyai Sasangka Adri dan pada akhirnya raja tetap pada akhirnya member kekuasan di daerah tersebut

(lihat Pemkab, 2002).
    Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tampaknya memiliki cita-cita agar kekuasaannya tetap dipertahankan dan ingin mengembalikan seluruh bekas wilayah kekuasaan leluhurnya

(lihat Zaman Watu Renggong. Untuk maksud itu maka dibentuknya pasukan yang bernama Teruna Goak di Desa Panji (kini lazim oleh masyarakat setempat disebut Megoak-goakan).

Berkat kepiawaian darinya maka permainan burung gagak ini berhasil dibentuk pasukan Teruna Goak sebanyak 2000 orang yang cukup tangguh. Pasukan ini dipimpin oleh Ki Gusti

Tamblang Sampun, Ki Gusti Made Batang dan Ki Macan Gading (lihat Simpen, 1989).
    Setelah merasa kuat, akhirnya Ki Gusti Ngurah Panji menyerang Blambangan pada tahun 1590 dan dapat ditaklukan sehingga pada tahun 1591 menjadi daerah pasal Raja I

Gusti Ngurah Panji Sakti dari Den Bukit yang ibu kotanya di Sukasada. Kemenangan ini mendapat simpati dari raja Sri Dalem Solo dan sebagai tanda Simpatiknya maka

dihadiahkannya seekor gajah kepada beliau lengkap dengan pawangnya yang berjumlah 3 orang. Bermula dari hadiah seekor gajah inilah nantinya terbentuk desa-desa dengan sebutan

seperti sekarang ini, yaitu dalam (1) banjar Petak (tempat kandang gajang yang berpetak-petak); (2) Banjar Peguyangan (tempat berkubangnya gajah; (3) Banjar Jawa (tempat

tinggalnya pawing gajah dari jawa) (lihat Simpen, 1989).
    Kemenangan tersebut diatas, tidak dengan serta merta menyebabkan kegembiraan berlebihan dari Raa sebab salah seorang putra dari permaisuri raja yaitu Ni Ayu Juruh

yang bernama Ki Danu Dresta yang nantinya dicalonkan sebagai penggantinya gugur dalam serangan menghadapi blambangan oleh karena itu raja mengasingkan diri kesebelah utara

Sukasada, dan bermaksud membangun istana baru pada sebuah tegalan yang penuh dengan pohon buleleng (jagung gembal). Pada sekitar tahun candrasengkala “Raja Manon Buta

Tunggal” atau candarasengkala 6261 (1562 caka) atau tahun 1604 Masehi tepatnya tanggal 30 Maret dibungnlah istana baru dengan nama singaraja. Hal ini sebagai penghormatan

atas keperkasaan dari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti layaknya seperti seekor Singa. Dari puri inilah kemudian dikembangkan pembentukan kuota baru yang terletak memanjang kelaut

sebelah barat desa tua Banyuning. Jadi ibu kota yang diperluas ini memanjang dikepalanya di Sukasada dan ekornya di Pabian Buleleng yang dikanan kirinya ditunjang oleh desa-

desa adat bali menurut model bali utara, sedangkan pada ekornya terdapat perkampungan orang-orang Bugis, Arab dan Cina di sepanjang pesisir (lihat BPS, 2002; Pemkab 2002).

Dengan demikian maka peringatan dari hari jadi kota Singaraja sebagai ibu kota kabupaten kabupaten buleleng setiap tanggal 30 Maret tidak bisa dilepaskan dari sejarah Ki

Gusti Ngurah Panji Sakti.
    Singaraja dijadikan pusat pemerintahan bukan saja pada zaman kerajaan tetapi juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda atau pun Jepang (lihat Kaaden, 1939; 207).

Begitu pula setalah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Singaraja menjadi pusat pemerintahan untuk daerah provinsi Sunda Kecil (lihat Meraku, 2000). Namun pada masa

pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1958 Provinsi Sunda Kecil dikembangkan menjadi 3 Provinsi, yaitu Provinsi Bali, NTB dan NTT. Akan tetapi Provinsi Bali bukan lagi

beribukota di Singaraja tetapi di Denpasar (lihat, Aryana, 2000).
    Walupun demikian yang jelas kota Singaraja yang dirintis atau yang menjadi cikal bakalnya adalah Ki Gusti Ngurang Panji Sakti memiliki sejarah yang cukup panjang dan

unik. Kini kabupaten Buleleng sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali memiliki lambang yang khas yaitu seekor singa bersayap dengan motonya yang dinamakan Singa Ambara

Raja. Begitu juga dibuatkan tugu dengan patung sing bersyap yang disangga oleh Sembilan kelopak bunga teratai yang pada hakikatnya melambangkan sembilam kecamatan yang ada

dan secara lengkap tugu tersebut memiliki arti bahwa kota Singaraja ini lahir pada tanggal 30 Maret 1604. Tugu ini diresmikan pada tanggal 30 Maret 1971 (lihat Suwela 1998;

Diparda 2000; BPS 2002).


B.    Makam Jayaprana


    Objek ini terletak di Desa Sumber Klampok, Kecamatan Grokgak dengan jarak sekitar 78 Km dari kota Singaraja. Objek ini berada di tengah hutan lindung Taman Nasional

Bali Barat pada ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut dan berjarak 400 meter  ke arah selatan  jalan raya Singaraja-Gilimanuk, dengan luas areal sekitar 50 Ha.
Pada objek ini terdapat tempat suci untuk sembahyang memohon berkah,dan terdapat pula sebuah gedong simpen, bale bebantenan, piasan, bale kulkul, dan bale los untuk

beristirahat.  
    Keberadaan objek ini yang memiliki daya tarik khusus bagi pengunjung tidak hanya disebabkan aura atau vibrasi religiusnya tetapi juga disebabkan kisah legendaris

Jayaprana.      Menurut keyakinan masyarakat Jayaprana bukan tokoh mitos tetapi memang benar ada (faktual). Kisahnya memang mengharubirukan kita semua tentang kisah sepasang

anak manusia yang mengalami nasib tragis akibat perbuatan dari seorang penguasa dari Kalianget yang otoriter dan berbuat semaunya merebut istri Jayaprana yang bernama

Layonsari dengan tipu daya. Akan tetapi kesetiaan seorang istri kepada suaminya tidak bisa diluluhkan oleh raja dan mereka memilih bunuh diri demi suaminya yang lebih dulu

meninggalkan dirinya akibat dibunuh di Teluk Terima lokasi objek ini.
    Kisah cinta yang amat tragis ini jika di dunia barat dikenal dengan “Romeo and Juliet” dan di Bali Utara (Buleleng) dikenal dengan kisah legendaris Jayaprana-

Layonsari sebagai simbol cinta kasih suami istri yang suci dan abadi.
    Makam ini petama kali dipugar pada tahun 1950, dan banyak dikunjungi oleh wisatawan domistik untuk memohon berkah yang mereka harapkan bisa terkabul. Kunjungan paling

banyak bertepatan pada saat digelar upacara piodalan yang jatuh setiap Anggara Kasih Kulantir.
    Objek ini sangat baik dikembangkan sebagai objek wisata spiritual dan alam, mengingat di tempat ini terdapat pura yang memberikan vibrasi religius bagi pengunjung

yang ingin mencari ketenangan jiwa, lebih-lebih di sekitarnya masih berupa hutan lindung yang asri sehingga dapat memberi suasana tenang dengan panorama alam yang indah.


C.    Pura Pulaki


    Pura Pulaki terletak di pesisir pantai Desa Banyupoh, Kecamatan Grokgrak, di tepi jalan Singaraja- Gilimanuk sekitar 53, 5 Km dari kota Singaraja. Kondisi jalan cukup

baik.     Fauna pendukung terkenal yang sangat menarik ialah kelompok kera dan jalak putih. Pura Pulaki terletak di lereng pegunungan berbatu dan bersemak belukar.
    Kisah berdirinya Pura Pulaki tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan

Dalem Cri Waturenggong (1460-1550 M). Pura Pulaki merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) oleh seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang

dimulai tahun 1984, kini Pura Pulaki  sudah tampak megah dan luas serta memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa. Pura Pulaki sebenarnya

merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu  Pura Kerta Kawat pada Km 51 dari Singaraja (sekitar 750 M di sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura

Pabean, dan Pura Pemuteran. Urut- urutan upacara yang diadakan pada piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki, kemudian Pura Melanting dan Kerta

Kawat, lalu di Pura Pemutaran dan terakhir di Pura Pabean. Letaknya yang strategis di tepi jalan raya sehingga tidaklah mengherankan  sangat banyak mendapat kunjungan dari

wisatawan asing ataupun domestik. Sudah terdapat tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.
    Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu , antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk

kapak dan alat-alat dari batu lainnya. Berdasarkan  hal itu dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki

awalnya berkaitaan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
    Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia

sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke

Jawa maupun ke Maluku. Bahkan kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula

dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
    Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut

sampai dengan  peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah

Mada turun di Jembrana lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.
    Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku “Bhuwana Tatwa Maharesi Markadeya” yang

disusun Ketut Ginarsa. Kisah tentang Pulaki terdapa juga dalam buku “Dwijendra Tatwa” yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian seperti: “Baiklah adikku,

diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan

disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.
    Keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa

dipralinakannya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak

tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran  Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura

Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga  maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya dan orang pengikut

Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai yang berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, hariamau, banteng dan lain-lainnya. Kendati begitu,

menurut Simba, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya masih tetap setia ngaturang bhakti kepada Betara di Pulaki dengan naik perahu dari pantai Kalisada.

Namun saat itu, Pura itu sudah tak ada lagi, sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini.
Untuk itu, Simba menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pengayatan

(pemujaan dari jarak jauh) karena warga tak berani masuk ke dalam hutan mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk  ke

pedalaman.
    Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. Kawasan ini

kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950 yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan

setelah tahun 1950.
    Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran tidak bisa

dipisahkan.     Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali itu termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala atau 7 lapisan alam

semesta.
Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar  perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk sehingga tata letak, struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan

unsur segara dan gunung yang menyatu.
    Untuk sekadar tambahan, bahwa dalam sejarah Pura Pulaki ditanyakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan antara lain melantik Dalem Watu Renggong

yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan

segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama. Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya

sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah 8.000 orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan

ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam Bahasa Bali). Di areal pohon itulah Ida Ayu

Swabhawa dibuatkan pelinggih yang disebut Pura Melanting. Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi

tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma maka Dewi Melanting itulah

yang akan melindunginya.
    Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan rokh

suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi. Pura Pulaki

disungsung subak-subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu

Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis.

Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Pura Gunung Gondol terletak 3 Km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam

fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.



D.    Brahma Wihara Arama


    Wihara Buddha ini yang bernama Brahma Wihara Arama terletak di Desa Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar dengan jarak sekitar 19 Km dari kota Singaraja ke arah Barat.

Objek dapat dicapai dengan kendaraan bermotor yang menelan waktu perjalanan sekitar 30 menit, karena keadaan jalan cukup baik.
    Objek ini berada di dataran tinggi / di daerah sekitar perbukitan yang diperkirakan memiliki ketinggian sekitar 300 meter dari permukaan laut. Wihara ini mempunyai

areal tanah sekitar 1,5 Ha dan khusus untuk bangunan Brahma Wihara Arama hanya sekitar 35 Are, sedangkan sisanya berupa tanah perkebunan yang berada di sekeliling wihara.
Letak objek ini agak jauh dari permukiman masyarakat Banjar, sehingga nampaknya benar-benar tenang, jauh dari keramaian, dan sangat menyejukan karena keindahan alam

sekelilingnya. Tempat ini sungguh amat tepat, letaknya agak tinggi dan strategis, sehingga seluas mata memandang tampak pemandangan laut dan perbukitan yang indah di

sekeliling bangunan wihara ini turut mewarnai indahnya panorama Brahma Wihara Arama itu sendiri. Keadaan tanah di lingkungan objek cukup subur, karena fasilitas utama berupa

air sudah terpenuhi, baik untuk masyarakat dan umat maupun untuk pengairan areal perkebunan, Secara historis Wihara Budha ini sudah ada sejak tahun 1958 terletak di dekat Air

Panas Banjar, dengan tempat/areal yang berstatus pinjaman. Wihara ini didirikan oleh Bikku Giri Rakito Mahatera. Namun dalam perkembangan umat Buddha, yang mengakibatkan

tempat itu kurang memadai, dan agak dekat dengan keramaian masyarakat Banjar sehingga untuk latihan meditasi nampaknya terganggu, maka dicarilah tempat yang baru, tempat ini

dibeli sendiri oleh Bikku Giri dan pembangunannya dimulai pada bulan November 1970. Pemakaiannya sebagai tempat kebaktian baru dimulai bulan Mei 1971. Wihara Buddha yang

dibangun di Banjar Tegeha ini disebut dengan nama Brahma Wihara Arama. Pemberian nama ini erat hubungannya dengan fungsi dan manfaat wihara itu sendiri. Dapat diartikan bahwa

wihara tempat tinggal Bikku, atau kediaman Brahma yang berarti pula tempat sifat luhur; sedangkan Arama berarti taman. Jadi Braham Wihara Arama dapat diartikan sebagai taman

kedamaian Brahama yang luhur atau tempat kediaman sifat yang luhur. Biaya pembangunan diperoleh dari hasil sumbangan/hasil pembinaan yang dilakukan Bikku Giri (sebagai Bikku

Darma Duta) kepada umat di seluruh Indonesia. Diakui oleh umat bahwa Wihara Buddha di Banjar Tegeha ini dijadikan tempat meditasi yakni mengembangkan pandangan terang waktu 7

sampai 17 hari. Latihan yang dimaksudkan adalah meliputi duduk bersila dan jalan dengan waktu yang seimbang dan acara kebaktian. Latihan meditasi seperti yang disebutkan di

atas adalah bertujuan untuk : mengenal, mengerti pikiran; mengendalikan pikiran; membersihkan pikiran dan mencapai kebijaksanaan yang pada akhirnya sesuai dengan ajaran Budha

melepaskan diri dari hidup keduniawian.
    Dengan memperhatikan segala kegiatan latihan yang dimaksudkan di atas, maka sudah dapat dipastikan bahwa Wihara Budha itu mempunyai fungsi pendidikan, penyuluhan dan

pembinaan umat.
    Di samping fungsi pendidikan, Brahma Wihara Arama juga menampakan dua fungsi lainnya yakni : fungsi sosial dan objek wisata. Fungsi sosial dapat disaksikan dengan

adanya usaha pengadaan air untuk kepentingan masyarakat, memberikan fasilitas pinjam perlengkapan/alat-alat seperti : kursi, lampu, tikar bagi masyarakat yang berminat dan

wihara dapat dijadikan sebagai tempat pertemuan seperti arisan dan rapat-rapat. Sedangkan fungsi sebagai objek wisata nampak dari penampilan bentuk bangunan wihara itu

sendiri yang disainnya sangat indah, bersih penuh hiasan patung-patung Buddha dan patung-patung yang khas Bali selatan. Banyak wisatawan asing yang datang berkebangsaan

Inggris, Belanda, Amerika, Australia dan lain-lain,  bahkan ada yang ikut berlatih meditasi.
Wihara ini seperti telah diungkapkan di muka berlokasi di daerah perbukitan yang di sekitarnya di kelilingi oleh panorama alamiah yang indah, sehingga suasana menjadi tenang,

sejuk dan menyegarkan.
    Sebagian besar dan bahkan hampir setiap pengunjung yang datang ke tempat wihara ini, baik domestik maupun asing yang mempunyai tujuan latihan meditasi ataukah yang

sifatnya rekreatif, memberikan kesan menarik dan indah.
    Nilai budaya yang dimiliki oleh wihara yang  erat kaitannya dengan fungsinya, terutama sebagai pusat meditasi. Untuk mencapai tujuan utama itulah bentuk bangunnanya

ditata sedemikian rupa (bentuknya berundak-undak menyerupai bangunan suci Hindu). Dari halaman satu ke halaman berikutnya dipisahkan oleh pintu masuk berbentuk candi bentar,

dan setiap halaman dari ketiga halaman yang ada ditata secara indah, seperti tanamanya, patung-patung Buddha dengan sikap-sikap tangan tertentu, patung-patung Buddha dengan

sikap-sikap tangan tertentu, patung-patung Hindu yang menggambarkan para dewa yang dikenal Buddha dengan ukir-ukirannya. Ada juga tempat-tempat khusus yang berfungsi untuk

pendidikan ke Budhaan, yakni tempat menerima pelajaran, sekaligus tempat kebaktian atau ruang Dharma, yang lebih dikenal dengan nama Dharmasala Induk dan Dharmasala. Di

samping itu terdapat pula tempat pertemuan  atau tempat upacara pada upacara Waisak. Tangga-tangga yang ada, yang menghubungkan halaman satu ke halaman lainya menggambarkan

lambang-lambang keagamaan yang penuh arti terutama sebagai jalan yang akan ditempuh dalam usaha mencapai nirwana (melepaskan diri dari hidup keduniawian).


E.    Candi Buddha Kalibukbuk
    Objek ini secara administratif berada di wilayah Desa Kalibukbuk, Kecamatan Buleleng dengan ketinggian 2 meter di atas permukaan laut. Orbitasi objek ini berjarak 8

Km dari kota Singaraja ke arah barat melalui jalur utama Singaraja – Seririt sehingga mudah dicapai dengan kendaraan bermotor. Selain terletak di jalur utama situs ini

terletak di kawasan wisata Lovina sebagai objek wisata pantai yang sudah punya nama di kalangan wisatawan domistik maupun mancanegara. Untuk bisa sampai ke objek ini kita

belok ke kiri dari kawasan Lovina sekitar 1 Km melalui jalan aspal menuju Desa Kayu Putih Melaka. Luas situs ini sekitar 4 Ha milik Anak Agung Sentanu berupa kebun kelapa.
    Berdasarkan data arkeologis Agama Buddha sudah berkembang di abad VIII Masehi pada zaman Bali Kuno, termasuk di Bali Utara (Buleleng). Apalagi Bali Utara merupakan

pintu masuk pengaruh budaya dari luar baik Buddha maupun Hindu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan beberapa artefak Buddhis berupa stupika, materai tanah liat, arca

perunggu, alat-alat upacara, dan kompleks percandian di situs Kalibukbuk. Penemuan situs kompleks percandian Buddhis di Kalibukbuk sebagai tempat untuk pemujaan Buddha,

menunjukkan bahwa Agama Buddha sudah berkembang di Bali Utara sejak abad VIII – XIV Masehi.  Pada situs ini terdapat tiga buah candi, yaitu candi induk berdenah oktagonal dan

dua candi perwara yang denahnya berbentuk bujursangkar, yang fungsinya sebagai tempat sembahyang umat buddhis di Bali Utara pada masa lampau.
    Penemuan situs ini diawali dengan ditemukan stupika dan materai dari tanah liat di belakang sebuah hotel yaitu Hotel Angsoka ketika dilakukan penggalian sebuah kolam

renang pada tahun 1991 oleh penduduk setempat. Pada tahun 1994, ditemukan lagi benda yang serupa di tegalan milik Anak Agung Sentanu ketika dilakukan penggalian sumur oleh

penduduk setempat. Temuan – temuan tersebut membuat Balai Arkeologi Denpasar melakukan penelitian di situs Kalibukbuk dari tahun 1994 sampai tahun 2002. Setelah studi ini

dilakukan dilanjutkan dengan studi teknis arkeologi yang dilakukan oleh BP3 Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT pada tahun 2002. Kegiatan penggalian (ekskavasi)

pada situs ini ditemukan beberapa artefak berupa batubata berhias motif sulur-suluran, relief gajah dan ghana, yang merupakan bagian dari candi, juga ditemukan 100 buah

stupika di dalam sumuran candi perwara sebelah barat, dan di bagian bawah dari temuan stupika ini terdapat susunan batu andesit. Sedangkan stupika yang ditemukan di bawah

candi perwara sebelah timur keadaannya sudah teraduk.  Berdasarkan temuan-temuan itu Balai Arkeologi Denpasar berkesimpulan bahwa situs Kalibukbuk ini berasal dari abad VIII

– XIV Masehi.
    Kompleks Candi Kalibukbuk menghadap ke arah tenggara. Hal ini dapat diketahui karena pada induk candi terdapat tangga yang berada di sisi tenggara. Bangunan stupa

tersebut pada saat ditemukan sebagaian besar sudah rusak dan yang tersisa hanya bagian dasarnya saja. Peninggalan lain yang ditemukan adalah berupa batu bata yang dihias

dengan motif sulur-suluran dan relief Ghana dengan posisi jongkok, kedua tangan diangkat ke atas di samping kepala seperti posisi menahan beban di atasnya. Dari sisa-sisa

unsur dekoratif tersebut menghasilkan rekontruksi bentuk candi utama berupa stupa dihias dengan relief Ghana berada di antara lantai hiansan relief dan bagian atas kaki

candi.
    Ganesha pada stupa menjadi petunjuk adanya sinkritisme Siwa-Budha di situs ini. Stupa sebagai bangunan bugis yang menggunakan atribut Siwaistis, hanya dapat

dimungkinkan jika pendukung bangunnan suci tersebut mengembangkan sikap toleransi antardua keyakinan yang berbeda. Penciptaan stupa Kalibukbuk sebagai perpaduan harmonis

unsur Budha dan Siwa (Hindu) mencerminkan sikap toleransi yang tinggi di antara pemuluknya dan bahkan kedua  ajaran itu melebur menjadi aliran Siwa-Budha. Sekarang ini Stupa

Kalibukbuk difungsikan oleh masyarakat sebagai media pemujaan baik bagi umat Buddha maupun umat Hindu, seperti pada Hari Raya Saraswati banyak umat Hindu datang mengadakan

persembahyangan pada situs ini.
    Berdasarkan temuan dan studi teknis dari BP3 Bali sejak tahun 2002, maka pada tahun 2004 mulai dilakuakan pemugaran dalam rangka pelestariannya dan baru kelar pada

tahun 2008.





F.    Gedong Kirtya


    Gedong Kirtya terletak dekat Puri Kawan (Puri Suwela) di kota Singaraja (termasuk Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng) dan berada di tepi jalan jurusan

Singaraja-Denpasar, dan dapat ditempuh dengan menggunakan jasa angkutan umum.
    Gedong Kirtya dibangun di atas tanah seluas 0,12 Ha terdiri dari beberapa bangunan. Bangunaan depan adalah ruang perpustakaan, dan bangunan yang ada di bagian

belakang adalah ruang pempinan beserta staf administrasi/karyawan.
    Tempat istirahat merangkap sebagai ruang baca. Tempat parkir khusus belum ada tetap[I menggunakan halaman Museum Buleleng di sebelah timur Gedong Kirtya dan jalan

Veteran di depan gedong ini.
    Gedong Kirtya didirikan tanggal 12 Juni 1928, dan dibuka untuk umum tanggal 11 September 1928. Tujuan didirikannya Gedong Kirtya ini adalah untuk memperingati jasa-

jasa F.A.Liefrinck dan Dr.H.N Van der Tuuk yang telah banyak melakukan penyelidikan terhadap adat- istiadat serta Bahasa Bali melalui lontar/naskah lainnya.
    Penetapan Gedong Kirtya sebagai salah satu objek wisata akan sangat bermanfaat, sebab Gedong Kirtya menjadi sumber dokumentasi nilai-nilai budaya Bali. Oleh karena

itu banyak peneliti dalam dan luar negeri memanfaatkan kepustakaan yang ada.
    Gedong Kirtya sebagai salah satu objek wisata memiliki daya tarik khusus bagi wisatawan/instansi atau individu yang ingin mengetahui lebih mendalam mengenai nilai-

nilai sosial budaya yang pernah berkembang di Bali, yaitu:
1.    Gedong Kirtya menjadi sumber dokumentasi nilai-nilai budaya Bali.
2.    Gedong Kirtya merupakan perpustakaan khusus tentang sastra Bali/Jawa Kuno Klasik dan Sasak, yang ditulis di atas daun lontar.
3.    Sekarang diperkirakan ada 6000 judul naskah, dengan sekitar 4000 judul ditulis di atas daun lontar, dan 2000 judul di tulis di atas kertas. Masih ada sekitar 200     

judul dalam bentuk fotokopi. Naskah-naskah tersebut berisi : karya sastra, sejarah kuno, yang ada kaitannya dengan sastra Bali/Jawa Kuno, Wariga, cerita rakyat,         

geguritan, kidung, tutur dan sebagainya.
4.    Naskah-naskah tersebut dapat dipinjam setiap jam kerja, dengan beberapa persyaratan yang harus patuhi.
5.    Sebagai perpustakaan khusus tentang sastra, piodalan dilangsungkan setiap hari Sabtu, Umanis, Watugunung bertepatan perayaan hari Saraswati.


G.    Desa Pegayaman: Potret Harmoni Warga dan Toleransi


    Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, berada di lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran perbukitan yang memisahkan Bali bagian utara dengan wilayah selatan. Jaraknya sekitar  9 Km dari kota Singaraja, sehingga tidak sulit untuk mencapai lokasi desa ini, meskipun berada di balik bukit yang dikelilingi kebun cengkeh dan kopi. Jalan raya menuju desa itu seluruh permukaan aspalnya mulus, sedangkan jalan-jalan desa yang lebih sempit diperkakas dengan semen.
Pegayaman terbagi dalam empat banjar atau dusun adat, yakni Banjar Dauh Rurung, Banjar Dangin Rurung, Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin seorang kelian

sebagai kepala dusun.
    Uniknya, umat Islam di Desa Pegayaman membubuhi nama urutan keluarga sesuai tardisi Bali, seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga), di nama depan mereka yang berbau Islam.
    Akan tetapi ada perbedaan yang mencolok pada hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak menggunakan ukir-ukiran yang merupakan hal wajib bagi rumah warga Hindu di Bali. Rumah penduduk muslim juga tidak dilengkapi bangunan sanggah yang menjadi tempat persembahyangan keluarga di salah satu sudut rumah warga Hindu di Bali.
    Umat Islam di Pegayaman tidak merasa eksklusif. Hal ini dapat diamati pada saat perayaan Hari besar Agama Hindu seperti menjelang Nyepi, umat Islam ramai-ramai membantu tetangganya yang beragama Hindu membuat dan mengarak “ogoh-ogoh”.
    Pada saat Nyepi pun, mereka menghentikan aktivitas sehari-hari dan berdiam diri di dalam rumah untuk menghormati umat Hindu yang melaksanakan ritual tapa brata. Demikian halnya pada hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu turut memberikan makanan kepada tetangganya yang muslim dan tentunya halal, sebagaimana informasi dari Nyoman Nesa (65), warga Pegayaman.
    Sebaliknya, saat Lebaran dan Hari Raya Kurban, umat Islam yang melakukan tradisi “ngejot” atau memberikan makanan kepada tetangga sekitar rumah. Prilaku seperti itu

mencerminkan kehidupan yang harmoni dan penuh toleransi dan sudah barang tentu ini haruslah dicontoh oleh seluruh desa-desa lain untuk menghindari konflik yang

berkepanjangan. Sehingga pada akhirnya tercipta ketentraman dan kedamaian dalam menapak kehidupan ini.
    Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka yang muslim meminjam konsep nama-nama kerbat Hindu seperti yang sudah dijelaskan diatas.
    Secara historis Islam di Desa Pegayaman sudah ada sejak Raja Buleleng, Panji Sakti,berkuasa pada abad ke-15. Menurut I Ketut Ahmad Lbrahim, sepuluh Desa Pegayaman, pada saat Panji Sakti berkuasa pernah mendapat hadiah seekor gajah dan 80 prajurit dari Raja Surakarta di Jawa Tengah.“Hadiah itu sebagai bentuk persahabatan antara kedua kerajaan. Prajurit dari Jawa itu ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan prajurit kerajaan di Bali bagian selatan seperti Raja Mengwi dan Raja Badung,” katanya.
    Para prajurit dari Jawa kemudian menetap dan kemudian berbaur dengan masyarakat lainnya. “itu cerita saya terima dari orang-orang dulu,” kata Ketut Ibrahim. Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok kaum urban yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik pada 1850 Masehi. Rombongan itu diduga berasal dari bugis, Sulawesi Selatan. Hal itu dapat dilihat bahwa sampai saat ini, tetua Desa Pegayaman adalah seorang keturunan Bugis. Mereka menetap di Desa

Pegayaman yang berjarak sekitar 9 km dari Singaraja sebagai Ibu Kota Buleleng. Di desa itulah mereka menetap dan berbaur dengan warga asli Pegayaman yang beragama Hindu

hingga beranak-pinak.
    Kesenian khas Desa Pegayaman, yang disebut burba. Lagu dan tarian ini memang sangat Islami, tetapi kental dengan nuansa Bali. Sebab, para “pelaku”-nya memang umat Islam yang bermukim di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Sebagian besar penduduk desa ini muslim. Mereka disebut “Nyama Slam”, atau “saudara Islam” oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya.
    Penduduk muslim Pegayaman memang penduduk “asli” Bali. Bukan “orang Islam pendatang”, yang diasumsikan sebagai pedagang sate, bakul jamu, atau sejenisnya. Seperti penduduk desa sekitarya , pekerjaan pokok mereka berkebun. Hal ini ditegaskan oleh I Ketut Ahmad Ibrahim, (80 th), mantan pensiunan anggota TNI yang sudah belasan tahun menjadi Kepala Desa Pegayaman.
    Lebih jauh juga dikatakan olehnya bahwa tidak punya masalah dengan umat lain agama dan tidak merasa berbeda. Kecuali dalam syariat,”katanya. Perbedaan itu pun tak membuat mereka berjarak, apalagi menjadi eksekutif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi, warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, noneka gergasi yang dibuat sehari menjelang Nyepi.
    Dalam masalah perkawinan, seperti ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istrinya mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut system patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa sekitar.
    Dalam kasus percintaan dua anak manusia, jika seorang pemuda bertandang ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung tetapi bicara melalui celah di balik dinding.

    Berbeda halnya jika pertemuan tidak didasari atas cinta pertemuan boleh dilakukan secara langsung dengan sigadis. Dan kunjungan kerumah gadis juga tidak boleh di malam hari tetapi pada siang hari sebab tradisi yang ada gadis setelah waktu adzam maghrid tidak diperkenankan keluar rumah. Sedangkan proses alkulturasi dalam bidang arsitektur mesjid sudah terjadi pada awal kedatangan Islam ke Bali sehingga wujud mesjid di Bali menunjukan perpaduan antara kedua seni budaya yang bernafaskan Hindu dan agama Islam. Begitu pula alkulturasi dibidang kekerabatan sebagian besar warga yang memeluk agama Islam dengan meminjam nama depan dalam kekerabatan Hindu Bali sehingga muncul nama seperti Wayan Muhamad Saleh dan atau Made Jalaludin. Dalam kehidupan pertanian pun  umat Muslim menerapkan tata cara seperti yang dilakukan oleh petani yang beragam Hindu meskipun dalam hal mensyukuri saat panen yang berbeda tetapi esensinya sama.


H.    Pura Beji


    Pura Beji terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan dengan jarak sekitar 8 Km dari kota Singaraja ke arah timur. Objek ini sudah menjadi salah satu objek wisata budaya untuk kawasan Buleleng Timur dan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor yang memakan waktu  sekitar 10 menit dari kota Singaraja. Pura Beji memiliki areal seluas 2500 M² dengan perhitungan 100 M panjang dan 25 M lebar. Lokasi pura ini datar dan tidak jauh dari pantai dan lingkungan sekitarnya berupa persawahan sehingga menambah keindahan dan kesejukan objek ini. Bangunan Pura Beji dengan arsitektur khas Buleleng menghadap ke barat.
    Secara historis memang agak sulit ditentukan kapan Pura Beji mulai dikenal dan dimulai dibangun, mengingat peninggalan sejarah baik berupa benda-benda purbakala maupun keterangan tertulis (prasasti) tidak ada. Tetapi setelah ditelusuri sesuai dengan nama dan keadaannya, maka “Beji” sama artinya dengan “permandian” atau sumur yang merupakan sumber kesuburan. Kenyataan di areal sebelah timur Pura Beji sendiri terdapat bekas sumber mata air yang dahulu pernah berfungsi sebagai kolam. Rupanya para petani yang sangat memerlukan air untuk pengairan persawahan sangat memuliakan sumber mata air, yang kemudian mengatur pengairan melalui subak. Subak merupakan organisasi pengairan yang sudah dikenal sejak zaman pemerintahan marakata pada tahun 1074 Masehi atau abad ke-11.
    Untuk itu didirikan Pura Subak Beji. Sebutan Pura Subak Beji inilah yang dikenal oleh masyarakat luas sampai sekarang. Pencerminan lambang kesuburannya dapat dilihat pada salah satu bangunan pada Pura Beji, yakni di Gedong Simpen di atas atap terdapat patung wanita Dwi Sri, yang dikenal sebagai lambang kesuburan.  Dengan demikian Pura Beji yang dikenal sekarang ini, tidak lain adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari Pura Subak ( Pura Ulun Suwi/Pura Bedugul) yang ada di Desa Sangsit, dan telah beberapa kali mengalami perbaikan sejak dibangunnya yang diperkirakan pada abad XV.
    Pura Subak Beji ini sangat besar makna dan manfaatnya bagi masyarakat Desa Sangsit, khususnya masyarakat petani sebagai temapat suci, yaitu para petani (pengamong/pesungsung Pura Subak) memohon keselamatan dan kesejahteraan terhadap Ida Sanghyang Widhi melalui manifestasinya yang bersemayam di Pura Subak Beji, yakni : Dewa Braban, Dewa Ayu Manik Galih dan Dewi Sri.
    Di samping pelinggih untuk para dewa yang telah tersebut di atas, masih ada beberapa pelinggih sebagai tempat pengayatan di antaranya untuk memuja Ida Betara di Pura Desa Pengastulan, yang  menurut kepercayaan dimaksudkan untuk memohon keselamatan terutama air suci (tirta) untuk memberantas hama tanaman. Begitu pula pemujaan terhadap Ida

Betara di Pura Manasa Sinabun, karena masyarakat Desa Sangsit ( terutama para pengamong Pura Subak Beji ) masih merasa memiliki hubungan batin terhadap Pura Desa Manasa di

Sinabun. Dahulu Desa Sangsit pernah merupakan bagian-bagian dari Desa di Sinabun.
Pura Subak Beji atau yang lebih dikenal dengan nama Pura Beji memiliki beberapa daya tarik khusus antara lain adalah:
1.Keindahan Alam
Di sekitar atau di lingkungan pura terutama di sebelah utara dan barat terdapat bentangan sawah dan Pantai Sangsit yang menambah keindahan panorama, tenang, sejuk dan

menyegarkan bagi para wisatawan yang berkunjung ke sana.
2.Keindahan Budaya
Relief hiasan bangunannya sangat unik dan menarik, yakni pada bangunan yang terletak di jeroan pura, yang bernama : Gedong Simpen, Pelinggih terbesar yang terletak di

tengah-tengah bebaturan, yang  pada atap gedong ini di setiap sudut berhiaskan ular naga dan puncaknya terdapat patung Dewi Sri serta burung kakak tua berada di atas patung

Dewi Sri. Di samping itu Pura Beji penuh dengan hiasan khas Bali Utara, sebagaimana terdapat pula pada pura Meduwe Karang dan Pura Dalem Jageraga.
Keunikan lainnya adalah upacara yang berlangsung pada hari piodalan setiap tahun sekali yaitu pada “Purnamaning Sasih Kapat”. Pada akhir ritual dilakukan upacara Bukakak

dengan menggunakan ayam, ditunjukan ( katur) di pelinggih Dewa Ngurah Braban, yang berstana di Padmasana. Pelaksanaan upacara Bukakak di Pura Subak Beji ini agak berbeda

dengan upacara Bukakak yang berlangsung dalam upacara Ngusaba di Subak Banjar Dangin Yeh Desa Sangsit. Di sini sajenya berupa babi hitam yang dipanggang matang sebelah. Namun

hakikat atau tujuan upacaranya adalah sama, yakni Bukakak dianggap sebagai simbul Dewa Wisnu dan pelaksanaannya pada hari piodalan, yakni upacara yang berhubungan dengan

subak untuk memohon berkah Sanghyang Widhi Wasa.






I.    Pura Meduwe Karang



    Pura Meduwe Karang terletak di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan dengan jarak 12 Km dari kota Singaraja ke arah timur. Objek ini dapat dicapai dengan kendaraan

bermotor yang memakan waktu sekitar 15 menit dari kota Singaraja.
    Pura Meduwe Karang memiliki areal seluas 6000 M² atau 60 Are dengan perhitungan panjang 120 M dan lebar 50 M. Lokasi pura sangat strategis, di samping dekat dengan laut, berada lebih tinggi dari jalan raya dan memiliki ketinggian sekitar 4 meter dari permukaan laut. Pura Meduwe Karang poisisinya menghadap ke barat.
    Pura ini secara historis berdasarkan kepercayaan umat Hindu khususnya masyarakat Desa Kubutambahan mempunyai arti dan makna yang sangat penting. Diperoleh keterangan bahwa pendirian Pura Meduwe Karang ini berkaitan dengan perjalanan Rsi Markandya, dari Jawa ke Bali ( dalam rangka pembangunan Pura Besakih ). Diperkirakan bahwa Rsi Markandya datang ke Bali dengan 40 orang pengiring untuk mendirikan Pura Sanghyang Tiga yang terbuat dari Turus Lumbung, dengan pengemit/penjaga berupa seekor binatang yaitu  macan dan sekaligus ke 40 orang pengiring tersebut menjadi pengamong pura.
    Akhirnya kira-kira tahun 1890 dibangunlah pura tersebut sampai selesai pada tahun 1895, yang kemudian diberi nama Pura Maduwe Karang. Secara etimologi nama Pura Maduwe Karang terdiri dari dua suku kata :
    Meduwe (Bahasa Bali) berasal dari kata “duwe” yang berarti punya, mandapat awalan me manjadi “meduwe” yang berarti mempunyai.
    Karang berarti tanah/tegalan.
Dengan demikian Pura Meduwe Karang adalah sebuah pura pertanian, yang erat hubungannya denagan tanah kering (tegalan). Sampai saat ini para petani masih memiliki suatu

kepercayaan bahwa segala kegiatan pertanian baik di tegalan maupun di kebun selalu didahului dengan memohon keselamatan dan restu di Pura Meduwe Karang dengan mengaturkan

“sesajen”.
    Pura Meduwe Karang yang dibangun sejak abad ke-19 ini telah beberapa kali mengalami perbaikan, di antaranya adalah:
1.    Pada tahun 1904 terjadi pemugaran dari 4 buah sekepat menjadi bebaturan.
2.    Pada tahun 1922 diperbarui dengan bentuk yang lebih sempurna dan dirampungkan pada tahun 1935, dengan ciri adanya relief orang naik sepeda ( yang menggambarkan orang

    Belanda yang ikut memberikan sumbangan untuk pembangunan pura ).
3.    Pada tahun 1981/1982 lebih disempurnakan dengan bangunan tembok/pagar dan sebuah bale lantang di jaba tengah, sehingga tampak lebih megah dan anggun seperti sekarang.
    Memperhatikan bentuk dan bangunan Pura Meduwe Karang, maka jelas yang disemayamkan adalah ketiga manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yaitu Brahma, Wisnu, dan Iswara.    Dengan demikian jelas pulalah fungsi Pura Meduwe Karang ini sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, terutama saat-saat hari piodalan yang berlangsung setiap     Purnama Sasih Kaulu.
    Pura Meduwe Karang ini memiliki daya tarik tertentu bagi wisatawan, baik domestik maupun asing, yaitu pada nilai budayanya terutama bentuk bangunan dan relief atau hiasannya yang unik dan indah.
    Bangunan Pura Meduwe Karang dibuat dari batu padas, yang agak keras dan sulit diukir. Hal ini menyebabkan ukiran tipe Buleleng yang bentuknya agak besar-besar sehingga menarik bagi wisatawan.
    Secara keseluruhan bentuk Pura Meduwe Karang tidak berbeda dengan pola umum pura di Bali, yang berbentuk teras bertingkat, yaitu mulai dengan bagian Jaba pura, jaba tengah, dan jeroan. Di halaman jaba terdapat tiga deretan patung-patung besar-kecil yang berjumlah 34 buah. Patung-patung tersebut menggambarkan cerita Ramayana dengan pusat cerita adalah ketika Kumbakarna sedang berperang hebat dengan para prajurit kera pasukan Sugriwa. Deretan patung ini dengan posenya tersendiri benar-benar sangat menarik, sehingga tidak lepas dari perhatian para wisatawan yang sedang melakukan kunjungan.
    Dua halaman lainnya yakni halaman tengah (jaba tengah) dan jeroan (halaman dalam yang letaknya paling tinggi) juga memiliki daya tarik tersendiri sehingga cukup mempesona wisatawan, karena memperlihatkan beberapa patung dan relief yang unik serta indah, di antaranya :
1.    Pada halaman tengah (jaba tengah)   yang merupakan  teras kedua yang arealnya lebih tinggi dari jaba pura, dihias dengan beberapa patung petani dan sebuah bangunan

bale lantang.
2.    Pada halaman dalam (jeroan pura) terdapat bangunan-bangunan dengan relief / hiasannya yang cukup menarik para pengunjung seperti :
    a.    Sebuah padmasana sebagai manifestasi dari Betara Siwa atau dikenal sebagai Betara Duhuring Akasa, yang di belakangnya terdapat hiasan yang indah.
    b.    Dua buah Gedong Sari yakni : Gedong Sari sebelah kanan (utara) adalah pelinggih atau tempat bersemayamnya Betara Ratu Ngurah Penaban Sari, yang merupakan manifestasi dari Brahma, dan Gedong Sari sebelah kiri (selatan) adalah pelinggih dari Ratu Ayu Penaban Sari, yang merupakan manifestasi dari Wisnu. Karena Pura Meduwe Karang merupakan pura pertanian, maka kedua dewa yang bersemayam di gedong tersebut merupakan lambang kesuburan.
    Bangunan Padmasana dan Gedong Sari dihubungkan oleh sebuah Bebaturan yang tinggi, penuh dengan ukiran atau hiasan serta candi bentar kecil-kecil dan rendah. Bagian muka bebaturan tersebut dihiasi dengan relief yang berceritakan Ramayana, dan 38 buah patung yang menggambarkan patung Rahwana dengan prajuritnya. Di samping patung Rama dan

Rahwana pada pilar-pilar bebaturan terdapat patung Durgamaesasura. Di dinding sebelah utara bebaturan terdapat relief yang kelihatannya agak unik dan lucu, yakni orang naik

sepeda. Relief ini dibuat oleh para undagi saat pemugaran yang rampung di sekitar tahun 1935. Waktu itu datang orang Belanda naik sepeda dan minta untuk dilukiskan pada

relief bebaturan itu dengan memberi sumbangan sebesar 25.000 gulden. Relief inilah yang sampai saat ini menjadi perhatian, lebih-lebih wisatawan asing dari Eropa, khususnya

dari negeri Belanda. Bahkan banyak yang langsung menanyakan letak relief orang naik sepeda itu dan ada yang pernah mengakui bahwa dilukiskan itu adalah leluhur mereka, sambil

menyerahkan sumbangan kepada penjaga pura secara tulus dan ikhlas.



J.    Pura Ponjok Batu


    Pura Ponjok Batu diberi nama mungkin lantaran pura ini berdekatan dengan onggokan batu hitam. Pura ini letaknya termasuk di timur laut Pulau Bali di wilayah Desa Alasasari, Kecamatan Tejakula, Buleleng dan  mudah dijangkau kendaraan. Dari Denpasar jaraknya sekitar 107 Km melalui Jl. Jurusan Denpasar-Singaraja lewat Bedugul. Jika melalui Kintamani, jaraknya dari Denpasar sekitar 122 Km. di sekitar pura, banyak pohon tumbuh menghijau. Deburan ombak sering terdengar bersautan, membuat suasana menjadi indah.
    Berdasarkan penemuan arca bertangan empat (Catur Buja) dan Lembu Nandini, diperkirakan arca itu adalah patung Siwa Mahadewa, sebagaimana lazimnya yang ditemukan di sejumlah peninggalan di Jawa Tengah seperti di Candi Pranbanan. Dengan demikian, diduga, pura ini telah berdiri pada awal VIII-XIII. Sebab dalam abad XIV, tidak bisa lagi dibuat Patung Siwa Mahadewa dengan Lembu Nandini seperti itu.
    Menurut penuturan pula, Dang Hyang Nirartha juga pernah singgah dan bersemadhi di onggokan batu ini. Sebagaimana diketahui, Dhang Hyang Nirartha datang dari Majapahit sekitar abad XVI pada waktu Pemerintahan Dalem Watu Renggong di Bali. Beliau memang suka bertitrayatra. Dimanapun beliau bertitrayatra dan bersamadhi, didirikanlah pura untuk memuja beliau. Tempat pemujaan beliau, tidak dibuatkan meru tumpang tiga. Bentuk pelinggih yang dibuat yakni semacam gedong yang bagian mukanya terbuka (tidak memakai pintu) dan terbuat dari beton semen.
    Pada bagian depan bangunan Gedong Bhatara Sakti Wawu Rawuh itu terdapat suatu tahun candrasangkala yang berbunyi, “Dwa Kerthi Ngastiti Widhi” yang artinya tahun Saka 1882 atau tahun 1960 Masehi. Rupanya, pada tahun 1960, merupakan saat restorasi pelinggih gedong itu dilaksanakan dimana hampir semua bangunan yang ada di sini dibuat dari beton semen yang diukir. Di tepi pantai pada bagian depan pura di seberang jalan menuju Tejakula ada keluar mata air tawar dan di tempat inilah orang mengambil tirtha untuk

upacara. Pada saat air laut pasang, mata air tawar ini tidak kelihhatan. Sebab itu dibuatlah tugu penyawangan tirtha di pantai yang agak ketinggian untuk tempat matur piuning

mohon tirtha.
    Pada halaman yang paling dalam atau halaman jeroan terdapat beberapa buah bangunan pelinggih antara lain:
1.    Pelinggih kembar sebagai stana Ratu Ayu Mas Mengening
2.    Palinggih gedong sebagai stana Bhatara Sakti Wawu Rawuh
3.    Palinggih Ratu Bagus
4.    Palinggih Ratu Bagus Ngurah
5.    Palinggih Ratu Mas Pengukiran
6.    Palinggih Ratu Penyarikan
7.    Palinggih Pesucian untuk Ida Bhatara
8.    Patung/arca lembu.
Di luar jeroan itu, di Jaba Tengah (halaman tengah) terdapat bangunan antara lain:
1.    Pelinggih Padmasari
2.    Bale Piyasan
    Pengemong pura adalah Desa Alassari, Tejakula, Penyiwinya adalah desa-desa di Kecamatan Tejakula.Upacara piodalan yakni pada Purnama Sasih Kedasa dengan tingkat upacara kecil atau alit, sedangkan pada Sasih Kasa Panglong Ping Tiga tingkat upacaranya besar. Tentang status pura, oleh karena berhubungan dengan Dang Hyang Nirarta, maka pura ini dapat dikatakan sebagai Dang Kahyangan.
    Di pantai Pura Ponjok Batu ini ada iar tawar mengalir. Air ini dijadikan tirtha. Di sebelah kiri tampak perahu buatan yang dibangun dari beton untuk mengenang perjalanan Dang Hyang Nirartha beserta pengikutnya. Dang Hyang Nirarta sendiri memakai labu untuk berlayar, karena perahu itu tak cukup menampung muatan.