Di Pegayaman kita dapati kebudayaan Islasm dalam bentuk yang lain.
Admin dispar | 20 November 2016 | 1917 kali
Balipost | Burdah Pegayaman, Musik Nyamo Selam ''yang
Bali''
Dari Ziarah Maulid ke Pedalaman Bali Utara...
SEKELOMPOK laki-laki berpakaian adat Bali
duduk bersila membentuk posisi setengah lingkaran sedang asyik
memainkan musik rebana sambil mengumandangkan syair-syair madah
(pujian) pada Nabi Muhammad. Alunan rebana terdengar bertalu-talu
berselang-seling dengan lantunan syair dari para penabuh, bersahut-
sahutan, timpal-menimpal, dengan irama bervariasi, membuat sajian
kesenian tradisional-riligius tersebut terkesan sakral, indah,
syahdu menyentuh kalbu.
Itulah kesenian burdah Pegayaman, Buleleng,
yang bisa disaksikan setiap saat, terutama pada bulan Maulid seperti
sekarang ini. Bulan Maulid (bukan kelahiran Nabi Muhammad) oleh
masyarakat muslim di pedalaman Bali Utara tersebut dipandang sebagai
bulan istimewa. Maulid Nabi hampir tak pernah terlewatkan
diperingati oleh masyarakat Pegayaman baik lewat ritual syariat
maupun pergelaran kesenian kerohanian seperti burdah yang menarik
dan sakral tersebut.
Burdah adalah kesenian tradisional Islam
yang memadukan unsur seni tabuh rebana (musik terbang yang terbuat
dari kayu bundar dan kulit lembu) dengan syair-syair pujian pada
Nabi Muhammad. Syair tersebut ditulis oleh Syarafuddin Abu Abdullah
Muhammad bin Said Al-Busiri (Imam Busiri: 1213-1297 M), seorang
penyair besar dan ulama sufi kelahiran Mesir yang menetap di Barbar,
Afrika Utara. Sebuah syair madah yang dinilai paling indah dan
tersohor, dikumandangkan kalangan Islam di seluruh dunia, termasuk
di Indonesia. Bahkan di Bali yang mayoritas penduduknya beragama
Hindu, juga ada kesenian burdah, antara lain di Pegayaman
(Buleleng), di Loloan (Jembrana), dan di Kepaon (Denpasar). Burdah
dikumandangkan masyarakat Muslim dalam berbagai kesempatan, misalnya
saat menyambut kelahiran bayi, acara khitanan, atau hajatan lainnya;
yang paling sering dikumandangkan pada peringatan Maulid Nabi.
Arti kata burdah sendiri adalah mantel atau
kain tebal (wol/ pakaian hangat). Konon Nabi Muhammad pernah
memberikan hadiah mantel (burdah) kepada Ka'ab bin Zuhair (penyair
terkenal dari Mekah yang memusuhi dan sering melecehkan Nabi
Muhammad lewat syair-syairnya yang bernada mengejek). Setelah masa
penaklukan Mekah oleh Nabi Muhammad, penyair tersebut bukanlah
dihukum melainkan diampuni, bahkan dia diberi hadiah mantel.
Syair madah tersebut aslinya berjudul ''Al-
Kawakib ad-Durriyah'' (Bintang-bintang Gemerlapan). Konon saat Imam
Busiri sedang menderita lumpuh (stroke), ia bermimpi bertemu Nabi
Muhammad (Rasulullah) dan diberi mantel seperti yang diberikan
Rasulullah kepada 'Ka'ab bin Zuhair. Imam Busiri sangat terkejut
atas mimpi tersebut, hingga terperanjat dan meloncat dari tempat
tidur. Seketika itu penyakit lumpuh Imam Busiri sembuh. Ia sangat
terharu atas peristiwa itu, dan secara spontan meluncurlah kalimat-
kalimat indah berupa pujian terhadap Nabi, sehingga jadilah syair
madah tersebut. Sebuah syair panjang dan indah, terdiri dari 160
bait, yang dalam perkembangannya selanjutnya banyak mengilhami syair-
syair madah lainnya seperti ''Kasyfu Ghummah'' karya Al-
Barudi, ''Nahjul Burdah'' karya Ahmad Syauqi, hingga ''al-Maulid an-
Nabawi'' (yang lebih terkenal dengan sebutan ''A-Barzanji'') karya
Ja'far Al-Barzanji, yang juga sangat populer dan sering
dikumandangkan umat Islam.
Karena syair madah ''Al-Kawakib ad-
Durriyah'' karya Imam Busiri tersebut terilhami kisah burdah, maka
dalam perkembangan selanjutnya lebih terkenal dengan nama burdah.
Tidak hanya syair yang dilantunkan dan bentuk pertunjukannya saja
yang disebut burdah, bahkan alat musiknya (rebana/ terbang) pun
dikenal dengan nama burdah. Lantaran keindahan, kedalaman makna,
serta nilai-nilai universalitasnya, syair tersebut bisa dimainkan
dalam berbagai gaya dan versi sesuai budaya-tradisi yang berkembang
di daerah burdah dimainkan. Sehingga masing-masing komunitas muslim
yang memiliki seni burdah punya ciri dan gaya burdah yang berbeda.
Burdah Pegayaman, contohnya, berbeda dengan burdah Loloan maupun
burdah Kepaon, meski sama-sama berada di wilayah Bali. Burdah
Pegayaman nampak ''lebih Bali'', bahkan ''sangat Bali'', karena
kesenian Islam tersebut diadaptasi dengan budaya Bali. Para
penabuh/pelantun burdah Pegayaman berpakaian adat Bali, juga dengan
lantunan syair berlogat Bali, serta irama lagu bernuansa Bali.
Burdah Pegayaman juga dilengkapi dengan tarian pencak silat kuno
(bentuk lain dari tarian sakral tharikal sufi) yang ''bergaya
Bali'', sebuah kesenian tradisional riligius-sufistik yang unik,
menarik, sakral dan magis.
Burdah Pegayaman dan keberadaan kaum Muslim
Pegayaman memang menjadi fenomena menarik. Desa tua di pedalaman
Bali Utara itu penduduknya beragama Islam, menjalankan syariat
sebagaimana umat Islam pada umumnya. Hanya muslim Pegayaman punya
warna dan pola hidup yang ''sangat Bali''. Kegiatan ritual keagamaan
seperti pengajian dan khurbah Jumat, misalnya, disampaikan dengan
bahasa Bali halus. Nama-nama penduduk Pegayaman juga menggunakan
perpaduan antara nama-nama yang bernuansa Islam dan Bali seperti
Wayan Syahdan, Wayan Syamsul Bahri, Ketut Syahruwardi Abbas, Ketut
Siti Aisyah, dan sebagainya. Di sana juga dijumpai sistem kehidupan
banjar, subak, sekaa manyi, sekaa hadrah, sekaa burdah, juga acara-
acara tradisional religius yang dikemas mirip budaya-tradisi Bali:
semisalnya manis Lebaran, penampahan, dan simbol-simbol budaya Bali
lainnya. Peringatan hari-hari besar Islam seperti Isra' Mi'raj,
Nuzulul Qur'an, terutama Maulid Nabi yang dirayakan secara meriah
dan sarat dengan nuansa Balinya.
Di Pegayaman kita dapati kebudayaan Islam
dalam bentuk yang lain, Islam yang Bali atau Bali yang Islam (Islam
yang membumi). Nampaknya kaum muslim di Pegayaman menyadari
pentingnya membangun kehidupan yang harmonis antara komunitasnya
dengan komunitas lain, antara kebudayaannya dengan kebudayaan lain,
antara manusia dan alam sekitar: ''di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung'', desa kala patra, untuk menjalankan amanat
kehidupan, mewujudkan keselarasan, keselamatan, dan memakmurkan
kehidupan, karena alam dan kehidupan adalah rahmat Tuhan yang harus
dijaga dengan penuh amanat. Artinya, kaum muslim di Pegayaman telah
merealisasikan ajaran dan meneladani Nabi Muhammad sebagai Rahmatan
Lil-Alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Kesenian burdah merupakan salah satu contoh
dari kebudayaan riligius yang tumbuh dan hidup di Pegayaman, sebuah
kekayaan budaya yang patut dilestarikan dan dijadikan renungan-
pelajaran bagi semua, terutama buat kaum muslim yang pada bulan
Maulid ini sedang memperingati kelahiran Nabi Muhammad yang dalam
hidupnya banyak memberi teladan baik, termasuk dalam menjaga
kehidupan yang harmonis bersama umat lain.
Nuryana Asmaudi SA
InTenS-Beh, Denpasar Utara
Download disini